TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Stasiun Geofisika Palu, Sulawesi Tengah Cahyo mengatakan bahwa daerah Sulteng, khususnya Kota Palu dan Donggala adalah kawasan rawan gempa dan tsunami.
Berdasarkan data yang dimiliki BMKG, menurut Cahyo, sebelum tsunami terjadi pada 28 September lalu di Sulteng pernah beberapa kali terjadi. "Sekurangnya lima kali gempa yang disusul oleh tsunami," kata dia pada Kamis, 19 Oktober 2018.
Baca: Pengungsi Gempa Palu Mulai Tempati Tenda-tenda Bantuan Asing
Kejadian gempa dan tsunami tersebut terjadi di tahun 1921, 1927, 1938, 1968, dan 1966. Cahyo mengatakan seluruh gempa berkekuatan diatas 6 magnitudo, sementara tinggi tsunami berkisar satu hingga 15 meter.
Cahyo mengatakan tsunami Palu yang terjadi bulan lalu itu dipicu oleh longsoran dasar laut akibat gempa yang terjadi sebelumnya dengan jenis mekanisme gempa mendatar mengiri (sinistral). "Berdasarkan bukti-bukti di lapangan diketahui bahwa patahan gempa berasal dari daratan menyilang hingga ke lautan mulai dari Labean hingga ke ujung Teluk Palu," kata dia.
Patahan tersebut, kata Cahyo, membelah lautan Teluk Palu lalu menyebabkan tanah tenggelam (amblas) sehingga mengubah batimetri atau kedalaman laut yang asalnya dangkal berubah menjadi dalam. Ia mengatakan dari hasil survei yang dilakukan BMKG setelah gempa dan tsunami menerjang, diketahui bahwa ketinggian dan jarak terjangan tsunami bervariasi antara satu titik dengan titik lainnya.
Baca: Lokasi Likuifaksi di Petobo Direkomendasikan untuk Ditimbun
Hal tersebut dimungkinkan akibat kelandaian pantai dan bangunan penghalang atau keberadaan dataran tinggi. Tim survei BMKG melakukan observasi lapangan dan wawancara di 27 titik berbeda sepanjang Teluk Palu sejak tanggal 29 September lalu, mulai dari Donggala sebelah Barat, Kota Palu, Donggala Timur dan Utara serta Labean titik terdekat dengan pusat gempabumi.
Cahyo mencontohkan Pelabuhan Pantoloan dengan tinggi tsunami menjadi 10,2 meter menerjang hingga jarak 216 meter masuk ke daratan dari bibir pantai. Sedangkan di Tondo, Palu, tinggi tsunami yang mencapai 10,7 meter mampu menerjang daratan sejauh 165 meter.
"Jarak terjangan tsunami terjauh adalah di kawasan Hotel Mercure, Palu yang mencapai 468,8 meter dari bibir pantai padahal tinggi tsunami hanya 9,2 meter," kata Cahyo.
Ia mengungkapkan hasil survei ini menjadi dasar BMKG mendorong Pemerintah Sulawesi Tengah untuk merevisi Tata Ruang dan Wilayah di wilayahnya. BMKG juga berharap Pemerintah Sulteng bisa terus berupaya meningkatkan mitigasi bencana dengan mengedukasi masyarakat setempat untuk tetap waspada dan siap menghadapi bencana.
Baca: Korban Gempa Palu Berisiko Terkena Kolera, Disentri dan Malaria