TEMPO.CO, Mataram - Korban gempa Lombok kini masih dalam kondisi memprihatinkan. Mereka masih tinggal di tenda-tenda darurat sementara hunian sementara belum ada. Sebanyak 14 organisasi relawan mengungkapkan hal tersebut dalam acara Ngopi Bareng Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram, di Ampenan, NTB, Ahad 16 September 2018.
Baca juga: Ini Data Lengkap Kerusakan Gempa Lombok Versi BNPB
"Bulan Oktober nanti sudah mulai hujan. Dengan kondisi pengungsian seperti sekarang ini saja sudah banyak masalah. Para pengungsi mestinya bisa tinggal di hunian yang sedikit lebih layak," ujar Fitri Rachmawati dari AJI Mataram.
Masalah pun mendera para perempuan yang tinggal di pengungsian. Ini karena tenda darurat yang didiami lebih dari satu keluarga.
"Banyak ibu-ibu dan remaja putri yang terkena gatal-gatal di area vital mereka karena tidak berani mengganti pakaian dalam," kata Isdiana Putri, relawan dari YDWS Mataram.
Mereka, kata Isdiana, tak mengganti pakaian dalam bukan karena tak ada, melainkan karena takut menggantinya sebab tak ada tempat khusus. "Sering hal tersebut dijadikan kesempatan oleh para laki-laki nakal," kata Isdiana.
Isdiana mengungkapkan, relawan juga menemukan adanya kasus pelecehan seksual yang dialami oleh para perempuan di pengungsian gempa Lombok. Ada pula kasus suami istri yang terpaksa berhubungan intim di semak-semak karena tak ada tempat. "Sayangnya diketahui anak-anak," kata dia.
Isdiana juga mengungkap temuan adanya kasus pelecehan seksual kepada anak-anak korban gempa Lombok. "Kasusnya sudah dilaporkan dan ditangani oleh pihak kepolisian," kata dia.
Dengan kondisi seperti itu, para relawan mendesak pemerintah segera membangun hunian sementara atau huntara bagi para pengungsi gempa Lombok tersebut.
Hunian sementara yang dimaksud adalah hunian yang lebih layak dari tenda-tenda darurat.
Baca juga: Fahri Hamzah Tak Ada Leadership dalam Rehabilitasi Lombok
Sebisa mungkin huntara tersebut ditempati oleh satu keluarga, sehingga lebih memudahkan juga buat mereka menguatkan sistem sosial mereka yang menurun akibat tinggal di pengungsian.
"Trauma healing terbaik adalah keluarga, para orang tua. Kalau mereka segera keluar dari pengungsian, dengan sendirinya mereka bisa menata kembali kehidupannya" ujar Agung dari Yayasan Alit Surabaya.
Hery dari Persatuan Kuli Bangunan (Perkubal) mendesak hal yang sama. Ia menegaskan tentang peran pemerintah dalam situasi bencana gempa Lombok yang masih kurang maksimal.
"Mari tekan terus pemerintah agar anggaran yang sudah ada bisa segera dimanfaatkan masyarakat," ujarnya keras sambil mengeluhkan lambannya prosedur membangun rumah.
Termasuk dalam hal huntara, Hery meminta pemerintahlah yang harusnya menginisiasi huntara tersebut, bukan lembaga lainnya.