TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan, polemik soal suara azan kembali diperbincangkan. Khususnya, setelah Pengadilan Negeri Medan memvonis Meilina, seorang ibu rumah tangga, penjara 1 tahun 6 bulan karena menistakan agama, Perempuan 56 tahun ini dituduh melecehkan Islam. Padahal, ia hanya menyampaikan keluhan soal suara azan yang terlalu keras dari masjid di depan rumahnya.
Baca: Putusan Meiliana, Kementerian Agama Ingatkan 6 Aturan Toa Masjid
Kementerian Agama pun sampai kembali mengingatkan masyarakat bahwa ada aturan Departemen Agama yang mengatur soal penggunaan pengeras suara di masjid. Aturan ini tertuang dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978. Dirjen Bimas Islam, Muhammadiyah Amin, mengatakan aturan tersebut masih berlaku. "Hingga saat ini, belum ada perubahan," kata Muhammadiyah Amin, seperti dikutip dari situs resmi Kementerian Agama.
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur juga pernah menyampaikan pandangannya soal pelantang suara di masjid. Tulisan ini terbit di rubrik Kolom Majalah Tempo edisi 20 Februari 1982. Berikut pandangan Gus Dur terkait pengeras suara di masjid:
Islam Kaset dan Kebisingannya
SUARA bising yang keluar dari kaset biasanya dihubungkan dengan musik kaum remaja. Rock alaupun soul, iringan musiknya dianggap tidak bonafide kalau tidak ramai.
Kalaupun ada unsur keagamaan dalam kaset, biasanya justru dalam bentuk yang lembut. Sekian buah baladanya Trio Bimbo, atau lagu-lagu rohani dari kalangan gereja.
Sudah tentu tidak ada yang mau membeli kalau ada kaset berisikan musik agama yang berdentang-dentang, dengan teriakan yang tidak mudah dimengerti apa maksudnya. Tetapi ternyata ada 'persembahan' berirama, yang menampilkan suara lantang.
Bukan musik keagamaan, tetapi justru bagian integral dari upacara keagamaan: berjenis-jenis seruan untuk beribadat, dilontarkan dari menara-menara masjid dan atap surau.
Apalagi malam hari, lepas tengah malam di saat orang sedang tidur lelap. Dari tarhim (anjuran bangun malam untuk menyongsong saat shalat subuh) hingga bacaan Quran dalam volume yang diatur setinggi mungkin.
Barangkali saja agar lebih 'terasa' akibatnya: kalau sudah tidak dapat terus tidur karena hiruk-pikuk itu, bukankah memang lebih baik bangun, mengambil air sembahyang dan langsung ke masjid?