Majalah Tempo edisi 8 Agustus 2016 pernah menurunkan laporan bagaimana perkara Meliana ini berawal. Mulanya, Meliana menyampaikan keluhan soal pelantang suara Masjid Al-Maksum di Jalan Karya, Tanjungbalai Selatan, yang terlalu keras. Rumah Meliana persis berada di depan masjid.
Keluhan ini ia sampaikan kepada tetangganya yang bernama Kasidiq. Lalu, Kasidiq meneruskan keluhan ini kepada imam dan jemaah masjid. "Dia memprotes bunyi pengeras suara masjid saat azan," kata Harris Tua Marpaung, imam Masjid Al-Maksum, menirukan ucapan Kasidiq saat itu. Rumah Meliana berada di depan masjid tersebut.
Jemaah tidak terima. Mereka menggeruduk rumah Meliana. Adu mulut terjadi. Harris mengatakan Meliana malah meneriaki jemaah masjid. "Itu pengeras suara masjid bikin telinga awak pekak," kata Harris menirukan ucapan Meliana. "Arahnya ke rumah saya. Bising!"
Simak juga: Kerusuhan Tanjungbalai Jadi Kasus Penistaan Agama
Suasana sebenarnya sempat mereda ketika suami Meliana, Lian Tui, turun tangan. Jemaah kembali ke masjid setelah sang suami minta maaf. Namun, belakangan Meliana kembali meneriaki jemaah masjid soal azan Isyaa terlalu kencang. Jemaah marah.
Mediasi sebenarnya sempat dilakukan di kantor Kelurahan Tanjungbalai. Meliana mengaku bersalah dan minta maaf. Jemaah menerima. Namun, sekelompok massa yang berada di luar kelurahan memanas-manasi keadaan. Mereka mencoba membakar rumah Meliana.
Yang terjadi berikutnya, massa semakin beringas. Mereka kemudian bergerak menuju Kelenteng Huat Cu Jeng di Jalan Juanda. Jaraknya sekitar 500 meter dari rumah Meliana. Menurut seorang saksi mata, ratusan orang yang terdiri atas pemuda dan anak-anak memasuki lingkungan kelenteng itu sekitar pukul 00.00.
Massa yang sebagian besar bukan warga lingkungan sekitar itu mulai merusak kelenteng. Dari situ, massa menyebar. Mereka masuk ke kelenteng dan vihara lain. Perusakan dan pembakaran berlangsung selama hampir dua jam. "Semua tampak berjalan spontan. Tak ada komando," kata dia.
Saksi mata lain mengatakan provokasi muncul dalam bentuk teriakan dari kerumunan orang. Isi hasutan itu mengajak massa menyerang dan menghancurkan vihara dan kelenteng di Tanjungbalai. "Mayoritas dari mereka hanya menggunakan batu sebagai senjata," ujarnya. Dengan perlengkapan itu, mereka merusak pagar, menghancurkan patung-patung, serta membakar sejumlah barang di vihara dan kelenteng.
Malam itu, tiga vihara, delapan kelenteng, dan satu balai pengobatan di Tanjungbalai dirusak dan dibakar massa yang mengamuk. Massa, misalnya, membakar Vihara Tri Ratna di Jalan Asahan, Vihara Avalokitesvara di Jalan Imam Bonjol, Kelenteng Dewi Ratna di Jalan Asahan, Kelenteng Tio Hai Bio di Jalan Asahan, Kelenteng Dewi Samudera di Jalan Asahan, dan Kelenteng Lyoung di Jalan Jenderal Sudirman.
Massa juga merusak Vihara Vimalakirti di Jalan Pahlawan, Kelenteng Hien Tien Siong Thien di Jalan M.T. Haryono, Kelenteng Lin Kioe Ing Tong di Jalan Ahmad Yani, serta Kelenteng Huat Cu Jeng dan O Hoo Thua di Jalan Juanda. Selain itu, massa merusak sebuah tempat pengobatan di Jalan K.S. Tubun, Yayasan Putra Esa di Jalan Nuri, Yayasan Sosial Kemalangan di Jalan W.R. Supratman.
Cerita selengkapnya bisa dibaca di Majalah Tempo "Malam Mencekam di Tepi Asahan" edisi 8 Agustus 2016
Setelah membakar dan menjarah, massa berkumpul di halaman vihara atau kelenteng. "Mereka bersorak-sorak seperti orang yang baru memenangi sesuatu," kata warga Tanjungbalai itu. Polisi sudah menetapkan dua belas orang sebagai tersangka insiden perusakan tempat ibadah itu. Belakangan Meliana juga menjadi tersangka.
Bagaimana pembuktian perkara ini di pengadilan...