Direktur Eksekutif ICJR, Anggara, mengatakan vonis Meliana merupakan contoh bagaimana pasal penistaan agama lebih sering "menyerang" kelompok minoritas.Dalam catatan ICJR, kata Anggara, pasal penistaan agama selalu digunakan dalam konteks terdakwa atau terpidana dianggap menista agama dalam posisi mayoritas.
Ia melihat hal itu menjadi persoalan karena rumusan Pasal 156a tak direncanakan dengan ketat dan karenanya dapat menimbulkan tafsir yang beragam. "Putusan ini akan berakibat buruk iklim toleransi di masyarakat serta merugikan kepentingan kelompok minoritas lainnya yang seharusnya dilindungi," kata Anggara lewat keterangan tertulis pada Rabu, 22 Agustus 2018.
Padahal, kata Anggara, kebebasan beragama dan berpendapat dijamin oleh UUD 1945. Salah satu perlindungan beragama ditunjukkan dengan dijaminnya larangan tindakan penghasutan, permusuhan dan kekerasan yang menghasilkan diskriminasi atas dasar kebangsaan, ras atau agama dalam Pasal 20 ayat (2) ICCPR yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.
Parahnya, Anggara mengatakan dalam Rancangan KUHP yang masih dibahas DPR dengan Pemerintah Pusat, pasal penistaan agama ini semakin longgar. "Dengan rumusan yang sekarang saja, telah menyerang kelompok minoritas, tapi di RKUHP malah semakin karet," kata Anggara.
Pasal soal penistaan agama di dalam RKUHP hadir di Pasal 326, 327, 328 (draft 9 Juli 2018). Unsur 'dengan sengaja melakukan penghasutan untuk permusuhan' yang menjadi syarat pengaturan hukum yang mengatur penistaan agama, justru dihilangkan. Diganti hanya dengan unsur 'penghinaan terhadap agama' dengan definsi yang sangat sumir dan karet.
Baca: Mereka yang Pernah Terjerat Kasus Penistaan Agama
"Hukum pidana tentang penghinaan tidak boleh digunakan untuk melindungi suatu hal yang sifatnya subjektif, abstrak dan merupakan suatu konsep seperti negara, simbol nasional, identitas nasional, kebudayaan, pemikiran, agama, ideologi dan doktrin politik," kata Anggara mengkritik pasal karet yang membidik Meliana ini.
Iil Azkar Monza (Medan), Andita Rahma (Jakarta)