TEMPO.CO, Jakarta - Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Kantor Staf Kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin membalas kritikan yang diungkapkan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah dan Fadli Zon ihwal pengangkatan dirinya sebagai Komisaris PT Angkasa Pura I. Kedua pimpinan parlemen tersebut menuding Ngabalin diangkat sebagai komisaris sebagai bentuk bagi-bagi jabatan, hadiah atau kompensasi dari pemerintah.
Baca: Jadi Komisaris, Ali Mochtar Ngabalin Mundur dari DPP Golkar
"Itu istilah manusia syirik. Sayang sekali itu keluar dari pimpinan parlemen. Pernyataan yang ditertawai anak SD. Disiarkan omongan saya ini ya, ditulis benar-benar," ujar Ngabalin saat ditemui di Hotel Redtop, Jakarta pada Jumat, 20 Juli 2018.
Menurut Ngabalin, dirinya terpilih sebagai komisaris Angkasa Pura I tidak serta merta dan begitu saja. Ada proses yang sudah cukup lama dijalaninya. "Saya mengikuti banyak seleksi, baik dari kemampuan, pengalaman, sekolah. Rekening saya juga diperiksa," ujar Ngabalin.
Baca: Jadi Komisaris AP I, Ali Mochtar Ngabalin: Prosesnya Sudah Lama
Ngabalin merupakan politikus Golkar yang kini menjabat sebagai Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Kantor Staf Kepresidenan. Kamis, 19 Juli 2018, Ngabalin diangkat menjadi anggota dewan komisaris di PT Angkasa Pura I melalui surat keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pengangkatan Ngabalin menjadi Komisaris menuai kritik keras dari Fadli Zon dan Fahri Hamzah. Fadli menuding pengangkatan Ngabalin tak lain sebagai 'hadiah' dari pemerintah.
Fadli Zon menilai, pemerintah tidak konsisten karena memberikan jabatan kepada orang yang bukan profesional di bidangnya. Jabatan Komisaris AP I diberikan kepada Ngabalin yang bukan ahli pengelolaan transportasi udara. "Akhirnya BUMN jadi sapi perah saja. BUMN menjadi tempat penampungan bagi tim sukses," ujar Fadli. "Harusnya orang yang lebih profesional diangkat. Kalau begini, BUMN amburadul jadinya".
Baca: Fahri Hamzah: Pengangkatan Ali Mochtar Ngabalin adalah Kompensasi
Fahri Hamzah menyebut pengangkatan Ngabalin itu sebagai kompensasi. Menurut Fahri, yang mengaku telah lama mempelajari soal Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pemerintah kerap menawarkan posisi-posisi strategis di BUMN kepada 'orang-orangnya' sebagai kompensasi memberikan tambahan gaji. "Berapa sih gaji jubir presiden itu, padahal tanggungjawabnya besar. Nah, akhirnya muncul opsi menjadi komisaris BUMN. Rangkap jabatan sebagai kompensasi," ujar Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan pada Jumat, 20 Juli 2018.
Namun, Fahri teramat menyanyangkan hal ini. Sebab, akhirnya BUMN terbebani. Di satu sisi menyejahterakan masyarakat, di sisi lain sebagai alat negara, tapi masih dibebani dengan 'tugas-tugas khusus negara'. "Citra BUMN semakin rusak. Harusnya Pak Jokowi mencari sumber pembiayaan lain untuk menggaji timnya. Jangan jadi beban BUMN," ujarnya.
Baca: Ali Mochtar Ngabalin Komisaris, Fadli Zon: BUMN Jadi Sapi Perah
Selain itu, ujar Fahri, masuknya Ali Mochtar Ngabalin dalam deretan Komisaris AP I bisa membuat proyek-proyek BUMN tersebut rentan dipolitisasi. "Begitu komisaris masuk, politik masuk, permainan politik masuk, proyek di politisasi. Rusak BUMN," ujarnya.