TEMPO.CO, Jakarta - CEO Riset Saiful Mujani Research Center (SMRC), Djayadi Hanan, mengatakan ada dua cara Jusuf Kalla (JK) bisa terlibat dalam Pemilihan Presiden atau Pilpres 2019. "Pertama maju sebagai calon presiden (capres)," kata Djayadi, Kamis, 5 Juli 2019. "Atau pilihan kedua mendorong orang lain menjadi capres."
Djayadi mengatakan pilihan JK mendorong orang lain menjadi capres atau king maker dalam Pilpres 2019 adalah yang paling memungkinkan. Sebab, jika maju sebagai capres, JK tidak kuat. Apalagi, JK pernah kalah ketika maju sebagai capres dalam pemilu 2009.
Baca: Ketua Umum Golkar Bertemu PKB Bahas Koalisi Pilpres 2019.
Dari sisi elektabilitas, JK dinilai tak punya cukup modal. Elektabilitas JK cenderung rendah, bahkan di bawah Anies Baswedan.
Tantangan lainnya adalah JK tak lagi punya partai. "Partai mana yang nanti mau mengusung?" ujarnya. Meski dia tokoh senior di Partai Golkar, keputusan untuk menentukan pilihan bukan di tangannya," kata Djayadi.
Kekuatan JK untuk kembali memimpin juga menjadi tantangan lantaran usia. Meskipun ada contoh dari Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad yang memimpin di usia ke-92 tahun, stamina JK tetap jadi pertimbangan.
Menurut Djayadi, tantangan itu akan membuat JK lebih cenderung menjadi king maker di Pilpres 2019. "Jadi endorser baik capres atau cawapres," katanya.
Simak juga: JK Tolak AHY di Pilpres 2019.
Djayadi mengatakan JK memiliki kekuatan sebagai tokoh yang dinilai sukses jadi wapres. Dia juga dikenal sebagai tokoh yang memiliki kapasitas tinggi sebagai pemimpin nasional. JK juga memiliki basis politik yang kuat di Indonesia timur, terutama di Sulawesi Selatan. "Dua kekuatan itu bisa menjadi modal besar JK untuk menjadi orang yang diperhitungkan oleh calon lain ketika mencalonkan diri baik sebagai capres atau cawapres," katanya.
Sebelumnya, nama JK memang sempat digadang-gadang menjadi capres berpasangan dengan Agus Harimurti Yudhoyono. Wacana JK - AHY ini keluar dari kubu Demokrat. Belakangan JK menolak keinginan untuk maju dalam Pilpres 2019.