TEMPO.CO, Jakarta - Tragedi Trisakti terus memicu gerakan mahasiswa yang besar pada Mei 1998. Gelombang mahasiswa menuntut berakhirnya rezim Orde Baru akhirnya tak terbendung ke Gedung DPR/MPR di Senayan, Jakarta Pusat. Mahasiswa dari berbagai penjuru negeri ini mendatangi Gedung DPR/MPR untuk menuntut Presiden Soeharto mundur.
Wilson Obrigados saat itu masih berada di balik jeruji Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu hanya bisa menyaksikan rekan-rekannya berbondong menduduki Gedung DPR/MPR.
Wilson tak menduga bahwa gerakan mahasiswa itu merupakan titik awal tumbangnya rezim Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun.
Baca juga: Cara Polisi Agar Tragedi Mei 98 Tak Terulang
“Saya tidak memprediksi sama sekali, karena saya pikir Orde Baru ini kejam. Mereka bisa melakukan kekerasan paling ekstrem, sekalipun untuk aksi mahasiswa tersebut,” kata Wilson saat ditemui dalam peringatan 20 Tahun Reformasi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa pekan lalu.
Wilson mengira Soeharto akan menggunakan kekuatan militernya untuk menumpas gerakan mahasiswa. Ini beriringan dengan tuntutan mahasiswa yang saat itu menginginkan pemberhentian Soeharto. Keinginan itu menguat setelah terjadinya penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti oleh aparat keamanan. Gerakan mahasiswa pun makin masif menuntut berakhirnya Orde Baru.
Pendudukan Gedung MPR/DPR oleh ribuan mahasiswa dari berbagai kampus menjadi rangkaian sejarah penting reformasi. Mahasiswa mendesak Soeharto mundur karena dianggap telah menindas rakyat selama berkuasa. Gerakan mahasiswa kala itu dianggap sebagai cara efektif merongrong Soeharto ketika organisasi massa, baik agama maupun pemuda, berada di bawah kendali pemerintah.
Mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR saat unjuk rasa menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden RI, Jakarta, Mei 1998. TEMPO/Rully Kesuma
Wilson, alumnus jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI itu menilai gerakan mahasiswa tak berperan sendiri menjatuhkan Soeharto. Krisis moneter yang menjerat Indonesia dan memaksa Soeharto meminta bantuan lembaga keuangan dunia Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1997 juga turut berpengaruh. Wilson dan sejumlah aktivis pro demokrasi saat itu menilai bantuan IMF merupakan bentuk kekalahan Indonesia dalam mengatasi krisis ekonomi.
Pemerintahan Soeharto melemah setelah menandatangani perjanjian bantuan dana dari IMF. Menurut Wilson, faktor itulah yang membuat Soeharto tidak banyak berani mengambil langkah represif untuk meredam gerakan massa. Puncaknya terjadi ketika mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR, Wilson meyakini itulah waktu yang tepat untuk Soeharto mundur. “Tanpa mahasiswa, kalau hanya krisis ekonomi saja, tidak cukup membuat Soeharto mundur,” ujarnya. Soeharto mundur tiga hari kemudian.
Cerita Wilson menjadi memori setelah 20 tahun reformasi. Kini gerakan mahasiswa seolah sepi. Wilson berpendapat telah terjadi pergeseran cara mahasiswa dalam merespons isu-isu aktual di tengah masyarakat pasca-reformasi.
Perubahan sistem pendidikan disinyalir mempersempit ruang bagi mahasiswa menciptakan ruang diskusi bagi siswa untuk mengawal agenda reformasi. “Adanya batasan waktu kuliah dan bayaran yang makin mahal memengaruhi mahasiswa untuk lebih pragmatis,” ujarnya.
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Alghiffari Aqsa, setali tiga uang. Ia menilai terjadi pelemahan terhadap kekuatan koalisi masyarakat sipil dan gerakan mahasiswa setelah 20 tahun reformasi. Penyebabnya, oligarki politik yang membuat sejumlah aktivis yang turut menjatuhkan Orde Baru masuk ke dalam pemerintahan. Baik koalisi maupun gerakan mahasiswa pun menjadi terpecah-pecah. “Akibatnya gerakan kurang masif, bahkan dianggap remeh oleh pemerintah,” ujarnya.
Alghiffari menilai makin terkikisnya ruang demokrasi di lingkungan kampus terjadi setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Keinginan untuk memperjuangkan kebebasan akademik dengan adanya otonomi kampus pun menjadi bergeser. “Faktanya kebebasan di kampus justru hanya omong kosong belaka,” ujar dia.
Belum lagi, Alghiffari menambahkan, intervensi pemerintah dalam kehidupan di kampus kian nyata dengan menanamkan pengaruhnya dalam pemilihan pimpinan tertinggi di kampus. Ini terkait dengan keberadaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Tata Cara Pemilihan Rektor yang mengatur jatah 35 persen suara menteri dan 65 persen suara senat untuk pemilihan rektor. “Maka untuk menjadi rektor harus taat pada pemerintah karena ada persentase yang besar,” katanya.
Pengaturan itu pun berdampak pada persoalan lain. Kata Alghiffari, kampus kini menghadapi isu soal sejumlah pimpinan yang terafiliasi pada partai politik atau organisasi massa, baik yang berada di kubu maupun oposisi pemerintahan. “Kampus pun menjadi tempat pertarungan politik praktis di level elite,” ucapnya. Hasilnya, menurut dia, sempitnya ruang diskusi dan demokrasi berdampak pada makin tumpulnya gerakan mahasiswa pasca-reformasi.
Baca juga: Lepas PMII, NU Rumuskan Gerakan Mahasiswa Jadi Onderbouw Baru
Menurut Alghiffari, gejala ini berpotensi pula menumbuhkan ekstremisme ideologi di mahasiswa. Organisasi Hizbut Tahrir Indonesia, misalnya, kata dia, telah beberapa dekade menjadikan kampus sebagai tempat kaderisasi. Namun, kaderisasi sulit dilakukan ketika ruang diskusi dibuka lebar. “Kami dulu banyak didatangi HTI, tetapi enggak mempan karena kita banyak membaca, dari kiri sampai kanan, kami membaca semua,” ujarnya.
Ia pun menilai organisasi mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil perlu berkonsolidasi kembali setelah 20 tahun reformasi. Sebab, kata Alghiffari, gerakan mahasiswa diperlukan untuk mengawal dan mengontrol agenda pemerintahan, termasuk mengawal pelaksanaan agenda reformasi. “Kalau lemah, agenda pemerintahan tidak ada kontrol,” ujar dia.
Senada Alghiffari, Wilson pun berpendapat lingkungan kampus perlu mewaspadai kian sempitnya ruang demokrasi di lingkungan kampus. Sebab, menurut dia, kampus rentan menjadi tempat kaderisasi organisasi ekstremis dan partai politik. “Memang tidak besar, tetapi terorganisir,” ujarnya. Gerakan ekstremisme dan menyempitnya ruang demokrasi mahasiswa, kata dia, pun menjadi tantangan baru bagi organisasi kampus setelah 20 tahun reformasi.