TEMPO.CO, Jakarta - Orde Baru yang runtuh 20 tahun lalu masih menyisakan peninggalan lamanya yaitu korupsi. Meski selama 20 tahun reformasi berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi angka korupsi, namun rupanya rasuah tak jua lenyap dari negeri ini.
Selama Orde Baru, bau anyir korupsi terasa menyengat. Tetapi kekuasaan yang sentralistis membuat kasus-kasus korupsi menguap.
"Kasus di zaman Orba itu karena sentralisasi kekuasaan. Apalagi biasanya pemilik kewenangan itu mainnya di kekuasaan yang tersentralisasi," kata Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar kepada Tempo di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta beberapa waktu lalu.
Menariknya, kata Zainal, kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme di Orde Baru menjadi legal karena memiliki payung hukum berupa keputusan presiden (keppres). "Misal keppres-keppres yang memberikan kewenangan tertentu pada anak Pak Harto kala itu," katanya.
Baca juga: Petisi 50 : Memori Bangsa Lemah, Kasus Kejahatan Soeharto Dilupakan
Zainal menyebutkan salah satu contoh kasusnya adalah mobnas atau mobil nasional. Pada 1996, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1996 yang menginstruksikan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman modal agar secepatnya mewujudkan industri mobil nasional.
Bersamaan dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 2 Tahun 1996 itu, ditunjuklah PT Timor Putra Nasional (TPN) sebagai pionir mobil nasional. TPN adalah perusahaan milik Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto.
Dengan ditunjuknya TPN sebagai pionir mobil nasional, perusahaan itu dibebaskan dari bea masuk dan pajak lainnya dengan syarat TPN harus menggunakan komponen lokal sebesar 20 persen pada tahun pertama, 40 persen pada tahun kedua, dan 60 persen pada tahun berikutnya.
Demi melancarkan proyek mobnas Timor, bukannya membangun pabrik perakitan dan industri komponen untuk menunjang mobnas, Presiden Soeharto malah mengeluarkan kembali Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1996. Inti dari keppres itu adalah TPN tak perlu melalui tahapan pemenuhan komponen lokal itu dan boleh mengimpor mobil secara utuh atau completely built up. Dengan begitu, TPN memperoleh fasilitas antara lain pembebasan bea masuk impor mobil.
Akibat meng-anakemas-kan TPN inilah, Indonesia kemudian digugat oleh Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), karena dianggap antara lain melanggar pasal memberikan perlakuan dikriminatif terhadap perusahaan lainnya.
Gurita bisnis keluarga Cendana sempat ditulis oleh Majalah Time dengan judul Suharto Inc. Majalah Time saat itu bekerja sama dengan pengajar sosiologi korupsi di Universitas Newcastle George Junus Aditjondro. George pada September 1998 menerbitkan buku berjudul From Suharto to Habibie: The Two Leading Corruptors of the New Order.
Pada edisi 24 Mei 1999, Time Asia kemudian meluncurkan artikel 14 halaman berjudul Suharto Inc: How Indonesia's Longtime Boss Built a Family Fortune.
Tulisan ini kemudian digugat oleh keluarga Cendana. Pada 30 Agustus 2007 majelis kasasi Mahkamah Agung memutuskan Time dinyatakan melawan hukum atas tindakannya memuat tulisan tersebut. Time dihukum ganti rugi immaterial Rp 1 triliun terhadap Soeharto.
Putusan itu membatalkan putusan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 6 Juni 2000 yang memenangkan Time atas Soeharto. Putusan pengadilan pertama itu sempat dikuatkan di Pengadilan Tinggi Jakarta pada 16 Maret 2001.
Namun pada 16 April 2009, upaya peninjauan kembali yang diminta Time berhasil. Majelis hakim Mahkamah Agung memenangkan Time pada April 2009.
Upaya mengendus harta Soeharto juga sempat dilakukan dua lembaga raksasa yakni Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia. Mereka pernah meluncurkan berkas setebal 48 halaman berjudul Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative atau Prakarsa Pengembalian Aset Curian.
Dalam berkas di halaman 11 dilansir sepuluh pemimpin politik paling korup di dunia, dan mantan presiden Soeharto bertengger di urutan pertama. Berdasarkan data itu total hasil curiannya mencapai US$ 15-35 miliar atau sekitar Rp 135-315 triliun pada kurs tahun 2007.
Baca juga: Soeharto Koruptor Terkaya di Dunia
Adapun pemerintah mengusut harta Soeharto dimulai setelah ia lengser. Pada 1 September 1998, Kejaksaan Agung menemukan sejumlah penyelewengan pada yayasan yang dikelola Soeharto.
Soeharto saat itu membantah tudingan tersebut. Muncul di televisi, Soeharto berkata, "Saya tidak punya uang satu sen pun di luar negeri."
Korupsi di era Soeharto tak lepas dari keputusan presiden yang dikeluarkan saat itu. Menurut Hamid Chalid, salah satu pelopor pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, mengatakan ada puluhan keppres yang menyimpang di era Orde Baru. Hal itu terungkap dari hasil kajian yang dilakukan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Ketika Soeharto lengser, PSHK dan MTI mengusulkan kepada pengganti Soeharto, BJ Habibie, untuk mencabut keppres tersebut. "Ada 53 keppres yang dicabut keberlakuannya oleh pemerintahan Habibie waktu itu," kata Hamid yang kini menjabat sebagai anggota Dewan Pengawas MTI.
Hamid menuturkan, menghapuskan KKN merupakan semangat reformasi. Sulitnya memberantas korupsi di era Soeharto karena semua berada di bawah kendali pemerintah pusat. Menurut dia, tak satu pun orang yang berani menyuarakan yang berbeda untuk melawan. Bahkan, KKN dipandang sebagai sesuatu yang wajar.
Karena itu, Hamid menilai bahwa upaya pemberantasan korupsi harus dimulai dari komitmen kepala negara. "Artinya bagaimana seorang pemimpin berperilaku punya impact yang luas ke bawah. Sebetulnya, it's really a matter of leadership. Masalahnya pada kepemimpinan," katanya.