TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan mengatakan bicara politik di tempat ibadah itu diperbolehkan tetapi ada batasannya. Sebelumnya, mantan Panglima TNI Jenderal Purnawirawan Gatot Nurmantyo menyampaikan dirinya merasa sakit kalau ada yang bilang di masjid dilarang bicara politik.
Amirsyah menjelaskan batasan bicara politik yang dia maksud. "Substansi politik untuk kesejahteraan umat dan bangsa, kajiannya boleh dilakukan di masjid, tapi politik praktis tidak dibolehkan," katanya saat dihubungi, Ahad, 6 Mei 2018.
Baca juga: MUI: CFD Wahana Silaturahmi, Jangan Dirusak Politik Praktis
Gatot menyinggung soal pembahasan politik di masjid saat dirinya hadir dalam acara dialog di Masjid Kampus UGM, Yogyakarta pada Jumat, 4 Mei 2018. "Sakit (hati) saya kalau ada yang bilang di masjid dilarang untuk bicara politik," ujarnya.
Menurut Amirsyah, ada dua hal yang bisa dilihat jika seseorang melakukan politik praktis di tempat ibadah. Pertama, kata dia, dilakukan oleh partai politik baik secara kelembagaan maupun perorangan untuk kepentingan mereka. Kedua, melakukan politisasi agama sehingga agama dijadikan alat.
Polemik soal boleh dan tidak boleh bicara politik di tempat ibadah muncul setelah Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais mengatakan politik harus disisipkan dalam acara keagamaan atau pengajian di acara peringatan satu tahun Ustazah Peduli Negeri di Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu. “Ini dalam rangka ulang tahun ustazah peduli negeri, pengajian disisipkan politik itu harus,” ujar Amien, Selasa, 24 April 2018.
Baca: Wasekjen MUI Jelaskan Pembahasan Politik yang Boleh Masuk Masjid
Pernyataan Amien itu kemudian menuai pro dan kontra. Mereka yang tidak setuju menilai pernyataan Amien itu bisa mengakibatkan polarisasi politik menajam sampai ke rumah ibadah.
Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin juga telah meminta Amien menjelaskan maksud ucapannya itu. Menurut Lukman, politik yang dimaksud Amien bisa saja mengenai politik dalam pengertian substantif. Adapun politik yang harus dihindari, kata Lukman, adalah politik dalam pengertian praktis pragmatis. Pembahasan politik pragmatis di tempat ibadah haris dicegah.
Menurut Amirsyah, rumah ibadah tidak boleh dijadikan tempat berkampanye untuk kepentingan politik baik pemilihan kepala daerah, legislatif, maupun presiden. Tempat ibadah, kata dia, mestinya syiar nilai-nilai agama yang menjadi landasan dalam mencegah kecurangan proses politik dalam pemilu, seperti praktik menghalalkan segala cara. "Tempat ibadah dijadikan arena politik praktis dilarang, itu jelas sudah ada di peraturan undang-undangnya,” ujarnya.
Adapun Ketua Gerakan Pemuda Ansor Yaqut Cholil Quomas mengatakan masjid tidak bisa dijadikan tempat untuk berpolitik praktis. Alasannya, masjid adalah sarana untuk mempersatukan umat, bukan menjadikan mereka berkubu. “Politik praktis jangan, sebab semua berhak di masjid,” ujarnya.
Yaqut menjelaskan batasan pembicaraan politik yang bisa dilakukan di masjid, misalnya, bagaimana kinerja lembaga negara dalam menyejahterakan rakyatnya, membangun infrastruktur, seperti jembatan untuk akses ke masjid. “Itu kan politik juga,” ujarnya.
Ia menambahkan di rumah ibadah juga bisa untuk membicarkan soal utang negara, tenaga kerja, dan yang lainnya, asal tidak ada kaitannya dengan dukung-mendukung. “Bicara utang negara termasuk berbicara politik, tapi lihat tendensinya,” ujarnya.