TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Rudy Heriyanto membantah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memutuskan proses penyitaaan tanpa dasar hukum kuat. Menurut Rudy penyitaaan kapal pesiar mewah Equanimity sudah mengikuti prosedur.
Namun, Rudy mengakui menyita kapal itu harus melalui prosedur tertentu. "Kerja sama dengan lembaga di luar negeri ternyata ada mekanismenya sendiri. Harus lewat Kementerian Hukum dan HAM," kata Rudy saat ditemui di kantornya, Selasa, 17 April 2018.
Baca:PN Jakarta Selatan Menyatakan Penyitaan Kapal Equanimity Tak Sah
Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri menyita kapal Equanimity pada 28 Februari 2018 di Teluk Benoa, Bali, atas permintaan Biro Investigasi Federal atau Federal Bureau of Investigation (FBI) Amerika. Kapal senilai Rp3,5 triliun itu disita karena diduga hasil kejahatan pencucian uang 1Malaysia Development Berhad (1MDB).
Equanimity Cayman Ltd mengajukan permohonan praperadilan atas penyitaan kapal ini pada 20 Maret 2018. Mereka mempertanyakan keabsahan penyitaan kapal oleh Polri itu. Menurut, Rudy dasar penyitaaan Bareskrim adalah hukum acara pidana (KUHAP).
Baca:
Polri Akan Kembalikan Kapal Equanimity ke Pemiliknya
Mantan Menteri Malaysia Tahu Soal Kapal Pesiar ...
PN Jakarta Selatan menyatakan dasar kepolisian menyita kapal itu berdasarkan KUHAP tidak tepat, sebab Equanimity disita untuk dibawa ke Amerika oleh FBI. "Menurut Pengadilan, seharusnya Bareskrim menggunakan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2006 tentang mutual legal system," kata Rudy.
Atas dasar itu, Pengadilan menyatakan penyitaaan Bareskrim Equanimity Polri kurang memiliki dasar hukum dan harus mengembalikan barang sitaannya. Rudy mengatakan saat ini menunggu perintah dari Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto.