TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menyarankan Joko Widodo mencari pendamping dari kalangan agama atau tentara. Alasannya, kedua kalangan itu bisa melengkapi Jokowi meredam isu suku, agama, ras, dan antargolongan yang berpotensi digunakan pada pemilihan umum 2019.
"Peluang Jokowi cukup besar, tapi mesti didampingi calon yang bisa mengurangi isu SARA," kata Yunarto saat dihubungi, Sabtu, 14 April 2018.
Baca:
PDIP Bahas Cawapres Jokowi Usai Pilkada...
Deklarasi Cawapres Cak Imin Dianggap Riak Bagi Koalisi Jokowi...
Menurut hitungan di kertas, ujar Yunarto, posisi Jokowi memenangi pemilihan presiden 2019 berada di atas angin. Bahkan Jokowi sebenarnya tak perlu pusing mencari pendampingnya karena elektabilitasnya tertinggi di sejumlah survei meski masih berada di bawah 50 persen.
Menurut dia, tidak ada cawapres yang bisa mendongkrak elektabilitas Jokowi. Sebab, yang dilihat jika Jokowi kembali maju adalah tingkat kepuasan publik. Saat ini, berdasarkan survei Charta Politika pada Januari lalu, tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi 67 persen.
"Jokowi cuma perlu cawapres untuk melengkapi agar kampanye lebih mudah,” katanya. Terutama untuk meredam isu SARA. Jika ada yang mengatakan kelompok nasionalis lebih baik dilengkapi kalangan religius, tujuannya bukan untuk menambah elektabilitas. “Tapi agar bisa mengelola isu dalam kampanye."
Baca: Jika Tak Dipilih Jokowi, Muhaimin Iskandar...
Yunarto memprediksi pemilu tahun depan hanya akan diikuti dua pasang calon presiden, yakni kubu Prabowo Subianto dan Joko Widodo. "Kemungkinan besar dua poros saja."
Untuk kubu Prabowo, bisa jadi bukan Ketua Umum Partai Gerindra itu yang maju menjadi calon presiden meski telah dideklarasikan partainya. Sebab, Prabowo mempunyai beban besar rekam jejak yang pernah dua kali kalah pada pemilihan presiden sebelumnya. Masalah logistik juga menjadi pertimbangan. "Kalau memaksakan, risikonya besar."