TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan kasus Novel Baswedan yang belum terungkap dapat menjadi kerikil dalam sepatu Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pemilu presiden. "Ya, jelas ini akan menjadi kerikil di sepatu Joko Widodo ketika melangkah di pencalonan presiden 2019," katanya saat ditemui di kantornya, Kamis, 12 April 2018.
Usman berujar Jokowi bisa terpilih kembali bukan karena prestasinya, melainkan karena orang merasa tidak mempunyai harapan dari kandidat lain. Usman menduga para pendukung dan penentang Jokowi akan menjadikan kasus Novel sebagai barometer dalam menentukan pilihan.
Baca: Tim Komnas HAM Terus Kumpulkan Fakta Kasus Novel Baswedan
Hal itu, kata Usman, melihat dari petisi berjudul "Pak Jokowi, Bentuk Tim Independen untuk Ungkap Kasus Novel". Petisi dalam situs Change.org tersebut sudah ditandatangani lebih dari 107 ribu orang.
Petisi itu mendesak Jokowi segera mengambil sikap tegas terhadap upaya-upaya kekerasan pada penegak hukum dan melindungi semua personel dalam upaya membongkar dan memberantas korupsi.
Dalam petisi yang dibuat Amnesty International Indonesia itu, tertulis, “Pagi ini, 11 April 2017, usai menunaikan salat subuh, Novel Baswedan, penyidik senior KPK, disiram air keras ke wajahnya. Kedua matanya mengalami luka dan para pelaku melarikan diri.”
Simak: Sebagai Pengingat Kasus Novel Baswedan, Diluncurkan Tiktoknovel
Ini bukan pertama kali Novel diserang. Sebelumnya, ia pernah ditabrak mobil ketika naik sepeda motor dan dikriminalisasi saat menyelidiki kasus simulator surat izin mengemudi. Menurut keluarga dan kerabatnya, serangan ini adalah kelanjutan upaya menekan Novel agar menghentikan langkahnya membongkar kasus-kasus korupsi besar.
"Kami mengajak semua teman-teman untuk berdiri di samping Novel, meminta Kapolri Tito Karnavian mengambil langkah cepat untuk menangkap pelaku dan dalang yang bersembunyi di balik serangan," demikian petikan petisi itu.
Usman menuturkan kasus Novel adalah problem nomor satu di dalam dunia pemberantasan korupsi. Namun polisi belum dapat mengungkap dan tim gabungan pencari fakta juga tidak kunjung dibentuk.