TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menilai penyelidikan atas kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan oleh kepolisian kian tidak jelas. Telah setahun berlalu, polisi belum juga mengungkap kasus yang menimpa penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan lamanya penuntasan kasus Novel ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap komitmen polisi. "Polisi sadar enggak bahwa kami mengalami distrust (tidak percaya)," ujar Dahnil kepada Tempo, Senin, 9 April 2018.
Baca: 1 Tahun Kasus Novel Baswedan, Terhenti di Sketsa
Dahnil menilai pengusutan kasus Novel gelap dan tidak jelas arahnya. Bahkan, pengungkapan kasusnya mandek karena polisi beralasan Novel tidak kooperatif saat diperiksa. Keterangan Novel, menurut polisi, tidak lengkap. "Kok, malah ke Novel," ujarnya.
Ketua KPK Agus Rahardjo (kiri) bersama Kapolda Metro Jaya Irjen Idham Azis, menunjukkan sketsa terduga pelaku penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan, di gedung KPK, Jakarta, 24 November 2017. KPK dan Polda Metro Jaya membahas perkembangan penyelidikan kasus penyiraman air keras ke penyidik senior Novel Baswedan. TEMPO/Imam Sukamto
Kata Dahnil, Novel tidak tahu siapa yang menyerangnya. Novel disiram air keras oleh dua orang pengendara sepeda motor saat berjalan pulang dari menunaikan salat Subuh di Masjid Al-Ikhsan di dekat rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada 11 April 2017. Akibat kejadian itu, mata Novel mengalami kerusakan.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Alghiffary Aqsa, yang sekaligus pengacara Novel, mengatakan penyidik KPK itu telah memberikan keterangan cukup ketika polisi memeriksanya di Singapura pada 14 Agustus 2017. "Novel sudah memberikan keterangan yang cukup lengkap di Singapura," ucapnya. Justru, dia mempertanyakan apakah orang-orang yg disebut oleh Novel dalam BAP sudah seluruhnya diperiksa kepolisian.
Baca: Wakapolri: Progres Kasus Novel Baswedan sudah Disampaikan ke KPK
Namun, menurut juru bicara Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya, Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono, saat pemeriksaan di Singapura itu, Novel Baswedan belum ditanya secara mendetail. "Karena kan waktu itu kondisinya belum fit, jadi hanya menceritakan bagaimana kronologi kejadian itu," ujarnya saat ditemui di kantornya, Jumat, 6 April 2018. Karena itu, kata Argo, kepolisian masih membutuhkan informasi tambahan dari Novel untuk mengembangkan kasus itu.
Kamera pengawas closed-circuit television Ru CCTV di rumah penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan berhasil merekam pria yang kemudian diketahui bernama Ahmad Lestaluhu. ISTIMEWA
Pendapat berbeda disampaikan Alghiffary. Menurut dia, dari kronologi yang disampaikan Novel bisa diambil banyak informasi yang harusnya dikembangkan oleh polisi. Misalnya, soal adanya peringatan dari salah satu petinggi kepolisian serta dua orang anggota Detasemen Khusus yang memberikan informasi mengenai orang yang mengintai Novel. "Tidak jelas sejauh mana polisi mendalami informasi tersebut," kata dia.
Aktivis Hak Asasi Manusia Haris Azhar menambahkan ketidakpercayaan terhadap polisi itu juga muncul dari para saksi mata. "Para saksi banyak yang ragu pada komitmen polisi," ujarnya. Mereka mempertanyakan mengapa kasus Novel tidak juga ditingkatkan menjadi penyidikan setelah mendapatkan sejumlah bukti dan keterangan yang cukup.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani juga mengungukapkan kejanggalan-kejanggalan dalam pengusutan kasus Novel oleh kepolisian. Ia menyebutkan, di antaranya adalah tidak ditemukannya sidik jari di gagang cangkir yang diduga digunakan untuk menyiramkan air keras ke wajah Novel.
Kata Yati, polisi menyatakan tak ada sidik jari di gagang cangkir karena gelasnya kecil. "Ini janggal, karena pelaku secara khusus dan terarah menyiram muka Novel, sehingga memerlukan konsentrasi, tenaga, dan genggaman tangan kuat pada gagang cangkir," tuturnya.
Kejanggalan lain, Yati melanjutkan, polisi tidak bersedia mempublikasikan rekaman kamera pengawas yang berkaitan dengan kasus Novel. Padahal, dengan begitu, kata dia, polisi bisa mendapatkan informasi dari masyarakat.
Kamera pengintai closed-circuit television (CCTV) di rumah penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan, merekam detik-detik kejadian penyiraman air keras terhadap dirinya oleh dua orang yang mengendarai sebuah sepeda motor pada Selasa, 11 April 2017. ISTIMEWA
Alghiffary juga menyoroti soal kamera penagwas. Berdasarkan temuan timnya, ada beberapa CCTV (Closed Circuit Television) di dekat rumah Novel tidak diperiksa polisi.
Namun keterangan yang disampaikan kepolisian terkait kamera pengawas berbeda dari Koalisi Masyarakat Sipil. Menurut Argo, polisi telah memeriksa 38 kamera pengawas. Namun, hanya ada dua yang bisa dianalisis lantaran resolusi kamera kurang baik, bahkan ada yang tidak merekam. "Jadi satu hingga dua pekan sekali sudah terhapus," kata Argo.
Haris Azhar menyangsikan keterangan tersebut. Sebab, dari temuan timnya, tidak ada lebih dari sepuluh unit kamera pengawas di sekitar rumah Novel. "Jumlah 38 itu angka darimana, saya tidak tahu," ucapnya. Meski tak sampai sepuluh unit, dia yakin kamera yang ada di sana bisa memberikan keterangan valid. "Jadi ada beberapa CCTV yang bisa dibilang autentik, tapi belum diambil polisi."
Yati menambahkan, kejanggalan lain adalah tindakan polisi yang menangkap dan melepaskan terduga pelaku dengan dalih tidak adanya bukti yang kuat. Yang dimaksud itu adalah Mukhlis, Hasan, Muhammad Lestaluhu, dan Niko Panji Tirtayasa. Polisi membebaskan ketiganya hanya didasarkan pada pengecekan lokasi ponsel pintar (GPS) mereka tidak berada di lokasi kejadian pada saat penyerangan. Padahal, Lestaluhu mendatangi rumah Novel sepekan sebelum kejadian, menanyakan perihal gamis laki-laki ke butik rumahan milik istri Novel.
Argo menjelaskan kronologi penangkapan Lestaluhu. Menurut dia, polisi hanya memeriksa Lestaluhu untuk mendalami alibinya. Pemeriksaan terhadap Lestaluhu bermula saat Novel menemui salah satu temannya yang juga seorang polisi. Lantaran awalnya disebut-sebut adanya orang dikira mata elang, mereka pun melakukan pengecekan foto melalui media sosial. "Di sana ada sejumlah foto, dan ditunjuk sama Novel ditunjukkan mana yang ada di FB (Facebook), ada yang dilihat enggak," ujarnya.
Seiring diperiksanya Lestaluhu, kata Argo, malah berembus kabar bahwa pria yang bekerja sebagai satpam itu adalah pelaku penyerangan Novel. Lestahulu mengeluh bahwa sejak itu, dia kerap didatangi media sehingga berdampak pada pemecatan dirinya dari tempat kerjanya. Belakangan, Lestaluhu sempat mengadukan polisi kepada Ombudsman lantaran merasa dirugikan dengan penangkapan yang dilakukan kepolisian.
Yati juga mengungkapkan kejangggalan lain dari kasus Novel. Menurut dia, ada inkonsistensi penyataan antara Markas Besar Polri dan Polda Metro Jaya. Mabes Polri pernah menyebutkan telah mengetahui pelaku dan menangkapnya. Tetapi Polda Metro Jaya meralat keterangan Mabes Polri dengan menyatakan yang ditangkap bukan pelaku.
Terakhir, Wakil Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Syafruddin mengatakan bahwa Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Idham Azis telah menyampaikan perkembangan kasus penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan ke pimpinan KPK. Namun, Syafruddin, tak mau membeberkan apa laporan yang disampaikan Idham. "Ada yang perlu dibuka, ada yang perlu dirahasiakan, karena ini menuju pada tersangka," ujarnya pada, Senin, 2 April 2018.
Namun, keterangan yang disampaikan Polda Metro berbeda. Argo Yuwono mengatakan penyidik polisi belum bisa mengidentifikasi dua pengendara motor yang diduga sebagai pelaku penyiraman terhadap Novel Baswedan. "Untuk wajah pelaku pun kami belum jelas sekali, siapa yang mengendarai. Jadi sampai sekarang, kami mencoba menggali dari saksi yang lain," ujarnya saat dikonfirmasi selang empat hari dari pernyataan Wakapolri itu.