TEMPO.CO, Ternate - Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara melarang organisasi masyarakat atau ormas perjuangan untuk pembebasan nasional (Pembebasan) melakukan aktivitas organisasi dalam bentuk apapun di wilayah hukum Kabupaten Sula. Larangan tersebut dikeluarkan dalam surat tanggal 02 April 2018 yang ditandatangani Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Kepulauan Sula Kamaludin Sangaji.
Dalam suratnya mengatakan, larangan beraktivitas untuk ormas Pembebasan di Kabupaten Sula dikeluarkan lantaran organisasi tersebut dinilai tidak memiliki legalitas formal dari pemerintah maupun pemerintah daerah. Organisasi Kemasyarakatan bisa beraktivitas di Kabupaten Sula jika sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017, Peraturan Dalam Negeri nomor 56 dan 57 tahun 2017.
Baca juga: Enam Masalah Ini Buat RUU Ormas Ditolak
“Untuk itu disampaikan kepada semua perangkat organisasinya untuk tidak melakukan aktivitas dalam bentuk apapun di wilayah hukum Pemerintah Daerah Kabupaten Sula mulai hari Senin 02 April 2018,” kata Kamaludin dalam surat tersebut.
Menurut Kamaludin, ormas Pembebasan akan diijinkan kembali melakukan aktivitas organisasi di Kabupaten Kepulauan Sula jika telah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Bupati Kepulauan Sula Hendrata Thes menolak menanggapi pelarangan aktivitas organisai Pembebasan di wilayah Kabupaten Kepulauan Sula. Hal ini dikarenakan keputusan itu sepenuhnya merupakan kewenangan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Sula.
Baca juga: Amunisi Baru Setelah Pengesahan Perpu Ormas
Menurut Hendrata, untuk persoalan yang berhubungan dengan kesatuan bangsa, organisasi politik dan kemasyarakatan, pihaknya telah mempercayakan tugas tersebut pada Badan Kesbangpol Sula untuk mengurusnya. “Untuk lebih jelas sebaiknya di cek ke Kepala Badan Kesbangpol biar jelas, saya percayakan beliau selaku kepala SKPD. Tapi menurut hemat saya untuk melarang suatu organisasi beraktivitas itu ada syarat-syaratnya,” kata Hendrata yang dihubungi Tempo, Selasa 03 April 2018.
Adapun Kamaludin Sangaji yang dihubungi Tempo belum menjawab. Pesan pendek yang dikirim pun tak berbalas.
Rasman Boamona, praktisi Hukum Sula menilai langkah pemerintah Kabupaten Sula yang melarang aktivitas organisasi kemahasiswaan Pembebasan merupakan bentuk cerminan ketakutan terhadap kritik publik. Pemerintah Kabupaten Sula seharusnya tidak serta merta melarang aktivitas suatu organisasi apapun jika belum ada satu keputusan hukum tetap atau sudah pernah memberikan sanksi hukum akibat pelanggaran seperti melakukan tindakan permusuhan terhadap SARA serta penyalahgunaan, penistaan atau penodaan terhadap agama, atau menggunaan nama, lambang, bendera, dan simbol organisasi yang memiliki kesamaan dengan gerakan separatis atau organisasi terlarang.
“Jadi saya melihat larangan aktivitas organisasi ini mengunakan logika hukum yang kacau dan memperlihatkan jika Pemerintah Sula saat ini antikritik dari publik. Seharusnya mereka dibina dan didampingi, bukan langsung dilarang,”ujar Rasman.
Ormas Pembebasan merupakan organisasi kemahasiswa ekstra kampus yang ada di Kabupaten Sula, Maluku Utara. Organisasi ini kerap melakukan unjuk rasa memprotes kebijakan Pemerintah Kabupaten Sula yang dianggap tidak memihak kepentingan rakyat kecil.
Pembebasan Sula bahkan pernah melakukan aksi unjuk rasa solidaritas untuk Petani Galela, Halmahera Utara dan mendamping Serikat Pedagang Kaki Lima berunjuk rasa menuntut agar Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sula menyediakan tempat yang layak bagi para pedagang kaki lima untuk berjualan di Pasar Basanohi Desa Fogi, Sanana, Sula.