TEMPO.CO, Yogyakarta - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berbagi tips menangkal berita bohong atau hoax kepada ribuan penyuluh agama di Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu, 28 Maret 2018. Dalam dialog yang digelar di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta itu, Lukman mendapat pertanyaan dari seorang penyuluh bagaimana kiat terbebas dari hoax.
“Karena saat penyuluh berbicara pada warga, mungkin yang didengarkan materinya hanya 20 persen, sisanya (warga) memilih informasi dari media sosial,” ujar seorang penyuluh agama bernama Nurdina itu.
Lukman menuturkan, setiap informasi berpotensi mengandung sebagian kebenaran dan kesalahan. Oleh sebab itu penting bagi penerima berita atau informasi melakukan klarifikasi, konfirmasi atau sikap tabayyun. “Kita punya kemampuan analitik sendiri ketika menerima postingan berita dari pihak lain, apakah informasi itu punya dasar-dasar yang bisa diyakini kebenarannya,” ujarnya.
Baca: NU dan Muhammadiyah Bertemu, Bahas Hoax hingga Tahun Politik
Mulai dari berita yang diinformasikan itu berisi apa, asalnya dari mana, siapa pembuatnya, untuk tujuan apa berita itu dibuat dan paling penting apa manfaatnya berita itu. “Kita harus memulai dari sendiri bertanya, berita itu manfaatnya apa,” ujar Lukman.
Jika masih merasa belum yakin atas kebenaran berita atau informasi itu, menurut Lukman, pihak pertama yang harus dimintai klarifikasi adalah pengirim berita itu. “Yang jadi masalah sekarang, orang itu seringkali meminta klarifikasi dari orang yang sama–sama tidak tahu kebenarannya,” ujarnya.
Alih-alih mendapat kejelasan, berita hoax yang diklarifikasi itu justru makin menyebar karena keluguan, kepolosan, dan keterbatasan wawasan para penerimanya. “Jadi kembalikan berita atau informasi tak jelas itu pada pengirim anda untuk menjelaskan, kalau ragu, ya, jangan disebarkan ke lainnya sehingga malah menyebar kebingungan,” ujarnya.
Simak: Penangkapan The Family MCA Tak Langsung Memutus Berita Hoax
Lukman menuturkan, maraknya sebaran berita atau informasi tak jelas saat ini tak bisa dilepaskan dari masalah karena rendahnya literasi bermedia sosial. “Kita ini tiba-tiba punya smartphone, tapi tak pernah diajari bagaimana bersosial media, ya di sekolah atau lembaga kursus, sehingga tak bisa menganalisis berita atau informasi,” ujarnya.
Lukman pun meminta para penyuluh agama menjadi orang-orang yang ikut terjebak dalam sebaran berita bohong. “Jadilah penerang untuk masyarakat dengan turut menangkal berita atau informasi tak jelas,” ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO