TEMPO.CO, Yogyakarta - Cendekiawan, mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif menilai ada perbedaan mendasar politisi Indonesia dulu dan sekarang. Perbedaan itu diungkapkan Buya, panggilan Syafii, ketika peluncuran buku biografi berjudul 'Ahmad Syafii Maarif Sebagai Seorang Jurnalis' yang digelar Suara Muhammadyah- organ penerbitan organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta Sabtu petang 24 Februari 2018.
"Politisi zaman dulu itu juga seorang intelektual, kalau politisi yang sekarang saya enggak tahu, nih," kata Buya sembari tertawa.
Baca:
Cerita Buya Syafii Jadi Jurnalis dan Asal Nama Pena Salman Lumpur
Wejangan Buya Syafii Maarif untuk Capres ...
Sebagai jurnalis Suara Muhammadyah mulai 1965 hingga 1982, Buya banyak berinteraksi dan belajar dari sepak terjang sejumlah tokoh dari berbagai latar belakang saat itu. Mulai dari Menteri Luar Negeri Indonesia 1956-1957, Roeslan Abdulgani; Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution; pendiri Partai Masyumi M.Natsir, Haji Agus Salim, termasuk presiden dan wakil presiden RI pertama Soekarno-Muhammad Hatta.
"Kelebihan politisi zaman dulu itu mereka kuat literasinya dan menguasai banyak bahasa," ujar Buya yang kala itu amat menganggumi sosok Nurcholis Madjid, cendekiawan yang juga Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dua periode.
Baca juga:
Buya melihat para tokoh bangsa di masa lalu merupakan politikus yang amat berani. Tidak jarang saling bergesekan karena perbedaan ideologi.
Baca juga:
Pilkada 2018, Buya Syafii: Penggunaan SARA Tindakan Primitif
Janji Ketua DPR kepada Buya Syaffi Maarif Soal ...
Namun Buya kagum terhadap para politikus saat itu. Sebab meski perbedaan ideologi di masa awal kemerdekaan itu amat tajam antara Islam, nasionalis, komunis/sosialis, namun tak sampai dibawa para tokoh itu ke ranah personal. Cukup berhenti di ranah ideologi atau pandangan politik.
Misalnya saja Soekarno yang kala itu ditahan Orde Baru amat percaya tugasnya bisa digantikan wakilnya Muhammad Hatta yang kerap berbeda pandangan dengannya. "Bahkan seorang Isa Anshary (tokoh Masyumi) kala itu bisa bercengkerama dengan D.N Aidit (pemimpin Partai Komunis Indonesia-PKI), padahal lawan luar biasa itu," ujar Syafii.