TEMPO.CO, Yogyakarta - Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif atau akrab disapa Buya Syafii tercatat sebagai jurnalis cukup aktif di Majalah Suara Muhammadiyah, media terbitan Muhammadiyah.
Media yang kini usianya sudah 103 tahun itu dinilai Buya menjadi wadah awal yang penting baginya mengembangkan cakrawala dan pemikiran tentang kebangsaan.
Baca juga: Pasca Serangan ke Gereja, Uskup Agung Semarang Temui Buya Syafii
"Saya bergabung di Suara Muhammadiyah saat itu juga untuk menopang ekonomi keluarga yang waktu itu kondisinya sulit," ujar Buya saat peluncuran buku 'Ahmad Syafii Maarif Sebagai Seorang Jurnalis', yang digelar Suara Muhammadyah di Yogyakarta, Sabtu malam, 24 Februari 2018.
Di majalah Suara Muhammadiyah, Buya merintis karier sebagai korektor pada 1965-1972. Kemudian ia diangkat menjadi staf redaksi hingga 1982. Buya lalu didapuk menjadi pemimpin redaksi tahun 1988-1990.
Puncaknya, Buya saat ini dipercaya menjabat sebagai pemimpin umum media tersebut.
Sebagai jurnalis, pria kelahiran Sijunjung, Sumatera Barat, 31 Mei 1935 ini kerap menggunakan nama pena Salman Lumpur. "Nama (Salman Lumpur) ini dari almarhum anak saya," ujar Buya.
Salman merupakan putra sulung Buya yang meninggal akibat penyakit cacar saat usianya masih 20 bulan.
Saat masuk ke Suara Muhammadiyah, Buya menuturkan kondisinya kala itu kacau balau. Ia alamiah saja menjadi wartawan demi menyambung hidup sebagai anak kampung yang baru hijrah dari Padang ke Yogyakarta.
Buya merasa dia awalnya hanyalah seorang pemuda yang sangat minim literasi. Ditambah karena pendidikan dasar formalnya saat itu juga sempat tersendat sendat baik pendidikan dasar dan menengah karena faktor sulitnya ekonomi.
"Saya itu amat terlambat dalam semua, makanya S3 baru bisa tercapai di usia 47 tahun," ujar lulusan Chicago University tahun 1978 itu.
Sejak bergabung di Suara Muhammadiyah, Buya makin terdorong memperkuat wawasan dan literasinya.
Tokoh panutan Buya saat menjadi jurnalis itu seperti Bastari Asnin, sastrawan yang terkenal dengan karya "Di Tengah Padang". Karya Asnin ini meraih hadiah pertama majalah Sastra tahun 1961.
Buya juga belajar menulis dan profesi wartawan langsung dari seniornya di Suara Muhammadyah, sastrawan Mohammad Diponegoro.
Profesi Buya sebagai jurnalis mengantarnya berinteraksi dan belajar dengan banyak tokoh nasional seperti Roeslan Abdulgani dan AH Nasution.
"Dari para tokoh nasional itu saya belajar untuk berani bersikap dan jujur pada prinsip," ujarnya.
Di sela menyambung hidup dengan menjadi jurnalis, Buya tak mau menyerah. Perlahan-lahan ia membenahi pendidikan formalnya dengan lanjut kuliah.
"Enggak ada pikiran jadi jurnalis, suasananya enggak karu-karuan saat itu, semua serba terlambat," ujar pria yang pernah menempuh pendidikan di IKIP Yogyakarta dan Ohio State University itu.
Pemimpin Perusahaan Media Suara Muhammadiyah Deni Asyari mengatakan pengalaman sebagai jurnalis amat berpengaruh membentuk Buya Syafii sekarang. "Buya tak hanya menjadi seorang pemikir, penulis prolifik, dan sejarawan, tapi juga negarawan," kata Asyari.
Tanpa Buya Syafii, ujar Asyari, tak mungkin Media Suara Muhammadiyah akan bertahan sampai menjadi salah satu media tertua seperti saat ini.