TEMPO.CO, Jakarta - Mantan pengurus organisasi Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar, Adam Mirza, mengatakan intoleransi bukan sekadar fenomena sosial. "Ini bisa dipolarisasi. Virus ini bisa sangat masuk ke mana saja kalau tidak waspada," kata Adam dalam diskusi “Bincang-bincang Toleransi dan Perdamaian di Bulan Kasih Sayang” di Rumah Kembang Kencur, Jakarta, Rabu, 21 Februari 2018.
Adam menuturkan intoleransi yang belakangan marak terjadi, seperti ujaran kebencian, sebetulnya dipicu dari masalah yang menimpa organisasi Gafatar. Menurut dia, ada propaganda dari kelompok intoleran untuk memberikan stigma bahwa Gafatar adalah kelompok agama. "Minim informasi, sehingga stigma begitu melekat. Sehingga organisasi kemasyarakatan non-agama bisa di-stigma-kan menjadi agama," katanya.
Baca:
Buya Syafii: Intoleransi Lampu Kuning, Sultan...
Cara Sultan HB X Selesaikan Kasus Intoleransi...
Menurut Adam, setelah Gafatar, aksi kelompok intoleran itu kemudian merambah ke pemilihan kepala daerah. "Sayangnya pemerintah enggak jeli. Justru termakan propaganda."
Menurut pria 40 tahun itu, Gafatar merupakan organisasi yang menjunjung tinggi toleransi. Keanggotaannya merangkul berbagai elemen masyarakat. Bahkan pernah ada anggotanya yang merupakan mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka dan kelompok Negara Islam Indonesia. "Mungkin dia sudah jenuh dengan konsep-konsep separatisme, ini sudah mau kembali. Gafatar merangkul mereka. Kami enggak lihat perbedaan, junjung tinggi toleransi."
Baca juga:
Persaudaraan Lintas Agama Kritik Intoleransi...
Heboh Selebaran Intoleransi di Rajeg, Kepala Desa...
Sejak didirikan pada 2011, Adam mengatakan, Gafatar memiliki 52 ribu anggota yang tersebar di 34 provinsi dalam empat tahun. Organisasi ini memiliki misi menjadikan bangsa Indonesia mandiri dan berdaulat secara pangan. Keberadaan organisasi itu, kata Adam, diterima dengan baik oleh masyarakat suku Dayak di Kalimantan. Sebab, dia menyebut, anggota Gafatar berhasil membuat lahan gambut bisa diolah menjadi lahan pertanian. Karena itu, anggota Gafatar pun tak sulit mendapatkan lahan untuk bertani.
Namun, sejak kemunculan kelompok intoleran, Adam mengungkapkan, pengurus Gafatar sepakat membubarkan diri pada 2015. Alasannya, mereka tak ingin membuat anggotanya yang sudah memiliki semangat toleransi tinggi menjadi hancur karena ketakutan. "Setelah bertahun-tahun, kok tiba-tiba ada masyarakat enggak suka kami. Terus mengusir. Dari dua tempat di Mempawah yang diusir itu, tiba-tiba di 30 titik lainnya di seluruh Kalimantan, orang-orang Gafatar dijemput paksa dengan senjata lengkap,” tuturnya.
Berkaca dari pengalaman Gafatar, Adam pun mengimbau pemerintah berhati-hati dengan tindakan intoleransi. "Di tengah semangat kita bertoleransi, kami harap pemerintah mewaspadai ancaman besar. Gafatar yang punya struktur rapi saja bisa dihancurkan. Yang menghancurkan punya sistem lebih rapi."