TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Ahmad Basarah memberikan tanggapan ihwal polemik netralitas dua pejabat Polri yang akan menjadi pelaksana tugas Gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Menurut Basarah, kekhawatiran akan netralitas itu perlu diletakkan secara proporsional.
"Aturan netralitas dalam Pilkada tidak hanya berlaku bagi anggota Polri, namun berlaku juga untuk Aparatur Sipil Negara (ASN)," kata Basarah dalam keterangan tertulis pada Ahad, 28 Januari 2018.
Baca: Tjahjo Kumolo Pilih Jenderal Polri Jadi Plt Demi Keamanan Pilkada
Basarah mengatakan, baik anggota Polri atau ASN, punya peluang yang sama untuk tidak netral dalam Pilkada. Untuk itu, netralitas disebut bukan berdasar dari kalangan mana melainkan dari niat. "Penyebabnya adalah niat awal seseorang untuk patuh atau tidak patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang mengharuskan Polri dan ASN netral dalam Pilkada," kata dia.
Seperti yang diketahui, dua pejabat Polri ditunjuk Tjahjo adalah Asisten Operasi Kapolri Inspektur Jenderal M. Iriawan dan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Inspektur Jenderal Martuani Sormin. Keduanya ditugaskan untuk menggantikan gubernur definitif yang masa jabatannya akan habis pada Juni 2018.
Baca: Pro dan Kontra Jenderal Polisi Jadi Plt Gubernur
Terkait kekhawatiran masyarakat, Basarah mengatakan adanya sistem penegakan hukum serta instansi pengawas internal dan eksternal seperti Badan Pengawas Pemilu serta kontrol publik akan memastikan penjatuhan sanksi bagi anggota Polri yang melanggar prinsip netralitas dalam Pilkada.
Basarah membandingkan, dari pengalaman yang sudah ada, penempatan pejabat Polri di Sulawesi Barat tidak menimbulkan persoalan. Sebaliknya, di beberapa daerah malah banyak ASN yang dilaporkan tidak netral dalam Pilkada.
"Dalam catatan Bawaslu saat Pilkada 2017 telah menerima laporan 19 dugaan ketidaknetralan ASN, melibatkan 53 oknum yang menjabat sebagai camat, kepala dinas, sekretaris daerah, bupati dan staf pemerintah daerah," kata Basarah.