TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah mengkritik partai politik yang saat ini dianggapnya memajukan kandidat di pemilihan kepala daerah (Pilkada) atas dasar transaksi politik bukan kaderisasi. Menurut dia, hal tersebut tidak baik untuk proses demokrasi karena masyarakat pada akhirnya akan memilih calon yang tidak betul-betul dikenalnya.
"Pilkada saat ini seperti main congklak, penuh misteri. Dan publik tidak punya banyak waktu mengenal kandidat," kata Fahri Hamzah dalam sebuah acara diskusi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat pada Kamis, 11 Januari 2018.
Baca: Pilkada 2018, Calon Tunggal Paling Banyak Ada di Banten
Fahri pun berharap di pemilihan presiden (Pilpres) 2019, hal tersebut tidak akan terulang lagi. "Kalau mau maju tunjuk dada di depan publik dari sekarang, agar rakyat mengenal anda," kata dia.
Sementara itu, Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Andreas Hugo Parerira tidak membantah adanya transaksi politik untuk mengusung kandidat sebagai bagian dari proses politik. "Saya kira itu bagian dari proses politik, kita berbicara cost politik bukan mahar politik," kata dia di lokasi yang sama.
Baca: 6 Kecurangan dalam Pilkada yang Akan Diidentifikasi Polri
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy mengakui, jika ada semacam barter politik antara PPP dan PDIP yang menghasilkan kesepakatan untuk mengusung Djarot Saiful Hidayat dan Sihar Sitorus Pane (Djarot-Sihar) dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara.
Kesepakatan itu adalah PPP menyodorkan nama putra Maimoen Zubair, Taj Yasin Maimoen atau Gus Yasin, sebagai calon wakil gubernur untuk Ganjar Pranowo dalam pemilihan Gubernur Jawa Tengah. Sebagai gantinya, PPP sepenuhnya mendukung Djarot-Sihar di Sumatera Utara.
"Gus Yasin kita sodorkan di Jateng, kemudian kami mendukung sepenuhnya paslon (pasangan calon) yang diusung PDIP di Sumut," kata Romi, sapaan akrab Romahurmuziy, di JCC Senayan pada Rabu, 10 Januari 2018.
Djarot dan Sihar telah mendaftar menjadi calon peserta pilkada pada Rabu, 10 Januari 2018. Pasangan ini disambut meriah dengan tarian Reog Ponorogo dan Gundala-gundala, yang berasal dari Suku Karo. Namun relawan PPP Sumatera Utara menolak Sihar karena dinilai tidak sesuai dengan asas partai.