TEMPO.CO, Jakarta - Puluhan warga Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur, berunjuk rasa menuntut pembebasan rekan mereka, Heri Budiawan, yang dituduh menyebarkan paham komunisme. Dalam aksi itu, massa membagikan lima kuintal buah naga untuk warga di sekitar lokasi demo.
Massa berunjuk rasa di utara kantor Pengadilan Negeri Banyuwangi, Jalan Adi Sucipto. Lima kuintal buah naga mereka angkut dengan pikap dan dibungkus dengan kantong plastik berukuran satu kilogram. Massa mempersilakan setiap pengguna jalan untuk mengambil buah naga secara gratis. "Ini bukti kalau petani bisa makmur tanpa tambang," kata perwakilan pengunjuk rasa, Zaenal Arifin, Selasa, 9 Januari 2018.
Unjuk rasa itu digelar bersamaan dengan sidang beragendakan pembacaan nota pembelaan (pleidoi) oleh terdakwa dan kuasa hukumnya. Selain membagikan buah naga, massa melakukan aksi teatrikal, menyanyi, berorasi, dan membentangkan spanduk merah bertuliskan: "Banyuwangi Tolak Tambang Tumpang Pitu, Banyuwangi Tolak Kriminalisasi".
Baca juga: Polisi Sita Bendera Berlogo Palu dan Arit di Kafe Garasi 66
Heri Budiawan alias Budi Pego dijerat dengan Pasal 107 ayat a Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara. Pada persidangan 4 Januari 2018, terdakwa dituntut 7 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum.
Budi Pego dianggap menyebarkan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme atas munculnya spanduk palu-arit saat puluhan warga berunjuk rasa menolak pertambangan emas pada 4 April 2017. Dalam surat tuntutan jaksa, spanduk palu-arit itu dibuat di rumah Budi Pego, dan dia juga dianggap sebagai kordinator aksi.
Munculnya spanduk palu-arit ini dilaporkan oleh Bambang Widjonarko ke Kepolisian Resor Banyuwangi pada 8 April 2017. Saat itu, Bambang masih menjabat sebagai Senior Manager Eksternal Affair PT Bumi Suksesindo (PT BSI), operator perusahaan tambang di Gunung Tumpang Pitu yang diprotes warga lewat unjuk rasa tersebut.
"Budi Pego bukan komunis. Kami semua adalah warga penolak tambang," kata Fitri Yati, salah satu warga yang berorasi.
Berjarak 300-an meter, massa dari sejumlah organisasi juga menggelar demo tandingan. Mereka terdiri atas Pemuda Pancasila, Forum Suara Blambangan, dan Forum Pembela Umat Indonesia. Mereka mendesak agar majelis hakim memperberat hukuman untuk terdakwa Budi Pego.
Menurut massa, tuntutan 7 tahun dari jaksa terlalu ringan dari ancaman pidana 12 tahun penjara pada Pasal 107-a. "Selamatkan NKRI dan Pancasila dari komunisme," kata Hanan, salah satu orator.
Di ruang pengadilan, Budi Pego membacakan pleidoi hasil tulisan tangan di atas kertas sebanyak sembilan halaman. Menurut Budi, spanduk berlogo palu-arit itu tidak dibuat olehnya maupun warga yang berunjuk rasa saat itu. "Spanduk itu sengaja disusupkan oleh beberapa orang dengan tujuan tertentu," kata dia sambil terisak.
Budi mengatakan dia menolak tambang emas di Gunung Tumpang Pitu karena gunung tersebut benteng dari tsunami. Pada 1994, tsunami pernah menghantam desanya hingga menyebabkan ratusan orang tewas.
Baca juga: Isu Komunisme Dikhawatirkan Menjadi Teror bagi Masyarakat
Koordinator kuasa hukum terdakwa, Abdul Wachid, menegaskan, tuntutan jaksa terlalu dipaksakan dan mengabaikan fakta persidangan. Padahal delapan spanduk yang menjadi barang bukti tidak satu pun berlogo palu-arit yang melambangkan komunisme. Termasuk juga tidak ada saksi yang melihat bahwa terdakwa yang menginstruksikan membuat spanduk palu-arit di rumahnya. "Kami mohon agar terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum," kata Wachid.
Corporate Communications Manager PT Bumi Suksesindo, T. Mufizar Mahmud, mengatakan PT BSI tidak pernah menyampaikan laporan kepada pihak berwajib terkait dengan munculnya spanduk palu-arit. Selama ini, kata Mufizar, perusahaannya berfokus meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai program, dari pendidikan, kesehatan, sosial kemasyarakatan, hingga infrastruktur. "Masyarakat punya hak untuk berdemontrasi," kata Mufizar lewat e-mail, 5 Januari 2018.
Mufizar menambahkan, tambang BSI juga telah ditetapkan sebagai obyek vital nasional (obvitnas) oleh pemerintah pada Februari 2016. Dengan demikian, kata dia, BSI sebagai aset nasional dan dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, mempunyai dampak strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah dan nasional.