TEMPO.CO, Lumajang - Penjelajah dan pengamat independen gunung api asal Indonesia, Aris Yanto, pada pekan pertama Desember 2017 melakukan pendakian di Gunung Agung yang sedang mengalami fase erupsi. Aris mengabadikan kondisi gunung tersebut dari bibir kawah pada 8 Desember 2017.
Aris menceritakan kepada Tempo seperti apa pengamatannya terhadap gunung yang miliki ketinggian 3.142 meter di atas permukaan laut itu. Menurut dia, Gunung Agung mengalami tiga tahapan erupsi sejak 27 November 2017.
Baca: Gunung Agung Kembali Erupsi, Tingginya 2.500 Meter
Erupsi pertama, 27 November 2017, adalah erupsi pembuka atau biasa disebut erupsi magmatic dengan tipe eksplosif dimana magma dalam perjalanan. "Ketika magma sudah berhasil mendobrak dan ketemu jalan keluar, erupsi eksplosif tentu akan melemah kalau suplai magma sedikit dan mulai berkurang sekitar empat hari kemudian," ujarnya, Jumat, 22 Desember 2017.
Erupsi tahap kedua, ada kemungkinan erupsi efusif (Lelehan), yang merupakan peristiwa keluarnya magma ke permukaan bumi yang tidak disertai dengan terjadinya ledakan karena gasnya kurang kuat. "Atau pasca-efusif yakni magma tiba di kawah dan membentuk magma waterfall (magma yang mengucur)," ujar Aris.
Pada gunung-gunung tertentu, erupsi efusif ditutup degan adanya kubah lava, lalu gunung tersebut seperti tidur untuk menunggu proses pembentukan gas kembali (vulcanic degassing) yang cukup untuk menimbulkan ledakan. Selama ini, Aris telah banyak mengabadikan momen erupsi gunung api di Indonesia ataupun di luar negeri.
Baca: Status Tanggap Darurat Dicabut, Gunung Agung Kembali Erupsi
Ihwal penampakan gundukan di kawah Gunung Agung, Aris meragukan adanya bentukan kubah lava. "Betulkah kubah lava atau hanya aliran lava dan hanya menjadi deposit lava saja. Saya tidak yakin itu kubah lava karena kubah lava mesti tumbuh ke atas," kata dia.
Erupsi tahap tiga, terdapat keunikan Gunung Agung. "Karena dalam fase sekarang ini, seperti balik lagi ke eksplosif. Dari vulkanik degassing yang begitu cepat ketika magma naik ke permukaan, tapi tidak bisa tumbuh," katanya.
Aris mengatakan, karena di Gunung Agung terdapat kawah dengan magma yang sangat encer (dilute), maka pada umumnya akan membentuk erupsi strombolian atau strombolian eruption. "Dan hasilnya, Gunung Agung punya banyak 'keluarga', seperti Gunung Semeru, Gunung Ibu dan Batu Tara yang sudah mau tidur lagi," ujarnya.
Di Batu Tara, erupsi tersebut disebut mild strombolian yang merupakan saudara kembar gunung api Stromboli di Italia. Erupsi strombolian merupakan tipe erupsi yang stabil dan bisa berlangsung lama. "Tergantung suplai magma. Dan ini hanya perlu monitoring secara berkala," kata dia.
Aris Yanto berharap, suplai magma habis dan Gunung Agung akan kembali tidur jika suplai magmanya berhenti. "Selama fase tiga ini, sangat sulit untuk mengatakan Gunung Agung kapan meletus besar atau kecil, karena energi selalu terlepas, dan magma mengalami proses vulcanic degassing ketika tiba ke permukaan," ujarnya.
Aris memberikan catatan, kalau erupsinya tidak di dalam lubang kawah, ketika erupsi exsplosive berhenti, Gunung Agung akan meletus seperti 1963. "Karena magma tumpah dan meluncur secara sporadis hingga membuat awan panas dalam jumlah besar," ujarnya