TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi Partai Golkar, Aziz Syamsuddin, mengaku tidak ambil pusing mengenai penolakan penunjukan dirinya oleh Setya Novanto sebagai Ketua DPR. Menurut dia, hal tersebut merupakan bagian dari perbedaan pendapat di internal Golkar. "Penolakan itu dalam rangka perbedaan," katanya setelah menghadiri rapat Badan Musyawarah (Bamus) di Gedung DPR, Jakarta, Senin, 11 Desember 2017.
Perbedaan pendapat di internal Partai Golkar ini terlihat dari dua surat yang dibahas dalam rapat Bamus. Surat yang dikirimkan Ketua Fraksi Golkar Robert Kardinal menyatakan setuju terhadap penunjukan Setya.
Baca juga: Gantikan Setya Novanto, Azis Syamsuddin Disebut Segera Dilantik
Adapun surat penolakan diajukan anggota Fraksi Golkar lain, yaitu Agus Gumiwang, dan nama lain. "Tadi saya sampaikan ada surat yang dikirim Pak Robert sebagai Ketua Fraksi Golkar, ada kelompok Pak Agus Gumiwang kirim surat juga ke pimpinan DPR. Kan begitu, berbeda," ujar Aziz.
Aziz pun enggan berkomentar lebih lanjut perihal penolakan tersebut. Menurutnya, yang terpenting adalah melihat kembali dan mengikuti mekanisme internal partai terkait dengan pengajuan Ketua DPR. "Kita lihat aja, saya enggak mau berkomentar jauh. Itu kan perasaan orang, siapa yang tahu," ucapnya.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Ace Hasan Syadzily mengatakan, hari ini, Fraksi Golkar menggalang tanda tangan untuk menolak Azis Syamsuddin menjadi Ketua DPR. Hingga berita ini dibuat, sudah ada 60 tanda tangan yang tercantum dalam surat penolakan tersebut. “Surat itu ditandatangani oleh teman-teman fraksi,” tutur Ace.
Baca juga: Disebut Kandidat Pengganti Setya Novanto, Aziz: Amin
Ace menambahkan, penunjukan Azis Syamsuddin menjadi Ketua DPR oleh Setya tidak tepat. “Ini kacau, memimpin partai dengan cara main-main,” katanya.
Dalam surat penolakan tersebut, tertulis bahwa saat ini telah ada usul lebih dari dua pertiga Dewan Pimpinan Daerah I Partai Golkar untuk melaksanakan musyawarah nasional luar biasa. Dengan begitu, Dewan Pimpinan Pusat diminta segera merespons dan tidak mengambil keputusan strategis.
Tertulis juga bahwa penggantian Setya sebagai Ketua DPR dibicarakan setelah putusan praperadilan merupakan hasil rapat pleno pada 21 November lalu. Sehingga surat dari Setya itu tidak dapat membatalkan rapat pleno, yang pesertanya merupakan semua pengurus DPP, termasuk Setya.