TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, mengatakan tidak mudah bagi Jenderal TNI Gatot Nurmantyo untuk bisa bertarung dalam pemilihan presiden 2019. Menurut Arya, Gatot akan kesulitan menjaga elektabilitasnya, terutama setelah ia pensiun sebagai Panglima TNI.
Arya menjelaskan, kekuatan utama Gatot selama ini dalam menarik perhatian publik adalah jabatannya sebagai panglima. Tetapi saat menjadi panglima seperti saat ini saja, elektabilitas Gatot masih ada di bawah 5 persen.
Survei CSIS pada September lalu menunjukkan elektabilitas Gatot ada di kisaran 1,8 persen. Jumlah ini naik dari tahun lalu yang hanya 0 persen. "Saya kira memang tidak mudah bagi Gatot Nurmantyo untuk mendapatkan perhatian publik setelah tak lagi menjadi panglima, soalnya ia kehilangan panggung setelah pensiun. Tantangan Gatot mendapatkan tiket pencalonan juga masih sulit," kata Arya saat dihubungi, Selasa, 5 Desember 2017.
Presiden Joko Widodo mengirimkan surat permohonan persetujuan pemberhentian dengan hormat Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan pengangkatan KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai calon Panglima TNI. Surat tersebut diserahkan Menteri Sekretaris Negara Pratikno kepada Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, Senin 4 Desember 2017.
Arya menjelaskan, saat ini Gatot diuntungkan karena posisinya sebagai panglima TNI. Namun bila ia pensiun, ia akan butuh usaha yang sangat keras agar bisa mendapatkan perhatian publik. Menurut Arya, bila Gatot benar-benar berminat maju dalam Pilpres 2019, maka ia pasti akan melakukan upaya keras itu.
Namun, Arya mengaku belum bisa mengetahui langkah tepat apa yang harus dilakukan oleh Gatot agar bisa bersaing di Pilpres 2019. Sosok Gatot saat ini dikenal dekat dengan sejumlah tokoh Islam. Namun, kata Arya, hal itu belum tentu bisa menjadi pegangan lantaran karakter pemilih muslim yang sangat longgar.
Pemilih muslim di Indonesia, kata Arya, tersebar ke banyak partai dan tidak dominan ke salah satu partai atau kandidat calon presiden. "Jadi bila Gatot Nurmantyo menggarap pemilih muslim secara masif harus menyadari bahwa pemilih muslim akan fleksibel dalam memilih, karena akan banyak juga yang akan memilih Presiden Joko Widodo," tutur Arya.