TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Idham Azis mengungkap dua sketsa terduga pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan. Menurut Idham, sketsa tersebut berhasil dibuat setelah penyidik melakukan serangkaian pemeriksaan terhadap 66 saksi.
"Dari beberapa saksi itu, lalu mengerucut pada dua orang yang diduga sebagai pelaku penyerangan terhadap korban," ucap Idham di gedung KPK, Jakarta, pada Jumat, 24 November 2017.
Idham mengatakan penyidik memperoleh detail sketsa tersebut dari dua saksi dengan inisial S dan SN. Selain itu, hasil temuan ini berkat kerja sama Pusat Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (Pusinafis) Kepolisian RI dengan Australian Federal Police dalam menyelidiki sejumlah CCTV di tempat kejadian perkara.
Baca: Polisi Nilai Tak Perlu Membentuk TGPF Kasus Novel Baswedan
Dengan disampaikannya sketsa tersebut, Idham mengimbau agar masyarakat menghubungi hotline Polda Metro Jaya jika menemukan informasi lebih lanjut tentang dua orang dalam sketsa tersebut. "Dari Polda, buka hotline 24 jam. Ada operatornya, ada ruangannya, sehingga kami berharap kerja sama dan bantuan masyarakat untuk bisa berikan informasi," ujar Idham. Nomor hotline yang bisa dikontak adalah 081398844474.
Sementara itu, Ketua KPK Agus Rahardjo mengapresiasi kemajuan hasil investigasi dari Polda Metro Jaya. Agus menilai temuan informasi ini bisa menjernihkan polemik di mata publik terkait dengan pandangan skeptis atas lambannya penuntasan kasus penyerangan Novel.
Baca: Kata Novel Baswedan Soal Penetapan Tersangka Setya Novanto
"Mudah-mudahan dengan dibagikannya ini tak ganggu perkembangan penyidikan selanjutnya. Kami berharap pelaku dapat ditemukan dalam waktu tak lama lagi," tutur Agus.
Penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan terjadi pada 11 April 2017. Ia diserang menggunakan air keras oleh dua orang tak dikenal setelah melaksanakan salat subuh di Masjid Al-Ikhsan yang lokasinya dekat rumahnya, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Pengungkapan kasus ini dinilai lambat oleh koalisi masyarakat antikorupsi hingga muncul desakan untuk membentuk tim gabungan pencari fakta.