TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hilmar Farid mendukung keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penerimaan aliran kepercayaan dimasukkan dalam kolom agama pada kartu tanda penduduk (KTP). Menurut Hilmar, keputusan tersebut telah memberikan kejelasan hukum terhadap status aliran kepercayaan dan para penghayat dalam administrasi kependudukan.
"Bagus, karena bisa memberikan kejelasan hukum kepada penghayat, karena telah diakui oleh sistem kependudukan kita," kata Hilmar ketika dihubungi Tempo pada Kamis, 9 November 2017.
Baca: Penghayat Sunda Wiwitan Apresiasi Putusan MK Soal Kolom Agama
Pada Selasa, 7 November 2017, MK mengabulkan gugatan uji materi atas Pasal 61 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan yang mewajibkan mengisi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk. Gugatan ini diajukan oleh sejumlah penghayat kepercayaan. Dengan adanya putusan ini, para penganut kepercayaan bisa mencantumkan aliran kepercayaan di kolom agama dalam KTP.
Menurut Hilmar, sebelum putusan MK ini, lembaganya juga telah memberikan pelayanan publik terhadap para penganut aliran kepercayaan dan penghayat. Keputusan MK itu, kata Hilmar, juga tidak akan menganggu kinerja lembaganya yang telah memberikan pelayanan kepada para penghayat dan penganut aliran kepercayaan.
Baca: Menteri Lukman: Kami Tidak Terdampak Putusan MK Soal Kolom Agama
Hilmar juga mengatakan bahwa keputusan MK tersebut hanya menyangkut persoalan administrasi kependudukan. Ia menolak tudingan bahwa keputusan MK tersebut, akan tumpang tindih dengan agama-agama yang telah mapan dan diakui oleh negara sebelumnya.
"Ini kan administrasi pencatatan kependudukan, enggak ada hubungan dengan definisi agama dan lain lain. Ini kebutuhannya mencatat warga," ujar Hilmar.
Hilmar juga mengatakan bahwa sebetulnya selama ini para penghayat dan penganut aliran kepercayaan telah diberikan ruang dalam pencatatan KTP lewat pengosongan kolom agama. Namun, kata dia, pencatatan itu belum mencukupi karena dianggap belum ada pengakuan negara terhadap para penganut aliran kepercayaan dan para penghayat.