TEMPO.CO, Jakarta - Indikasi keterlibatan PT Murakabi Sejahtera dalam merekayasa tender proyek kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP terus mencuat. Mantan Direktur Utama PT Murakabi Sejahtera, Deniarto Suhartono, sebelumnya diduga telah memimpin 14 perusahaan, yang hanya digunakan untuk merekayasa sejumlah tender.
Keterangan tersebut disampaikan Deniarto saat bersaksi dalam sidang lanjutan perkara e-KTP untuk terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong pada hari ini. "Empat belas perusahaan menempati tempat yang sama, yaitu lantai 27 Menara Imperium, Jakarta Selatan," ujarnya kepada majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Senin, 6 November 2017.
Menara Imperium sendiri dimiliki Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto. Di lantai 27 menara tersebut, Murakabi dan PT Mondialindo Graha Perdana menempati tempat yang sama, juga 12 perusahaan lain.
Baca juga: Peran Istri dan Anak Setya Novanto Mencuat di Sidang E-KTP
Murakabi merupakan salah satu peserta tender e-KTP. Keikutsertaan Murakabi dalam tender e-KTP pada 2011 disinyalir sebagai kongkalikong dan bagian rekayasa tender, yang telah diatur bakal memenangi konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia. Keponakan Setya Novanto, Irvanto, menjadi Direktur Operasional Murakabi, sementara putri Setya, Dwina Michaella, pernah menjadi komisaris Murakabi.
Adapun Mondialindo adalah pemilik 42,5 persen saham Murakabi. Sedangkan 80 persen saham Mondialindo dikuasai anak dan istri Setya, masing-masing 50 persen dan 30 persen. Setya pun pernah menjadi komisaris Mondialindo sekitar 2000 hingga 2002.
Deniarto mengakui, sejak 2003, 14 perusahaan ini baru dibentuk ketika akan mengikuti tender dalam sebuah proyek. Untuk dokumen yang akan dilampirkan saat tender, ia mengakui perusahaan mengarang keterangan mengenai kantor dan jumlah pegawai.
Sebagai contoh adalah Mondialindo. Kepada majelis hakim, Deniarto menjelaskan, perusahaan yang ia pimpin tersebut bergerak di bidang perminyakan dan perdagangan umum. Namun ternyata dengan bisnis seperti itu, Mondialindo hanya memiliki satu karyawan bernama Tri Anugerah Ipung. Satu karyawan lain, Sodri, hanya bertugas sebagai office boy.
"Bisnis mentereng, tapi karyawan cuma dua biji," kata ketua hakim John Halasan Butar Butar ketika mendengar kesaksian Deniarto mengenai Mondialindo. Hakim juga tampak kesal karena Deniarto sebagai dirut tidak mengetahui banyak soal perusahaan yang ia pimpin, mulai biaya sewa kantor hingga para pemilik saham.
Adapun untuk Murakabi, keterangan dari Deniarto juga membuktikan perusahaan tersebut diduga sama sekali tidak dikelola secara profesional. Deniarto menyebutkan Rapat Umum Pemegang Saham dilakukan hanya sesuai dengan kebutuhan dan tidak ada prosedur tutup buku bagi perusahaan pada akhir tahun. "Tapi saat diaudit sehat, kok," ujarnya.
Baca juga: KPK Curigai Aliran Dana dari Perusahaan E-KTP ke Rudy Alfonso
Mondialindo pernah mengikuti tender proyek minyak di Kalimantan Barat, tapi gagal. Adapun Murakabi juga ikut proyek e-KTP, tapi lagi-lagi gagal.
Hakim sempat memastikan keterangan dari Deniarto apakah keikutsertaan Murakabi dan perusahaan lain hanya taktik perusahaan. Deniarto menepis tudingan itu, "Bukan taktik itu, bukan asal ikut."
Jaksa Abdul Basir tidak menampik timnya ingin membuktikan sepak terjang Murakabi, Mondialindo, dan perusahaan lain yang mengikuti proyek e-KTP secara akal-akalan. "Ya, kurang-lebih begitu," ujarnya.