TEMPO.CO, Yogyakarta - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo rupanya masih gemas dengan operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Nganjuk Taufiqurrahman.
“Jam tiga sore Presiden Jokowi (memberikan) pengarahan (untuk) ingatkan jangan sampai kena OTT. Eh, jam setengah tujuh malam ada bupati yang kena,” ujarnya dalam seminar nasional dan bedah buku Bela Negara dan Kebangkitan Pemuda di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Selasa, 31 Oktober 2017.
Taufiqurrahman terkena OTT KPK sehari setelah mengikuti acara di Istana Kepresidenan pada Selasa, 24 Oktober 2017. Hari itu, Presiden Joko Widodo mengumpulkan para bupati, wali kota, dan gubernur seluruh Indonesia di Istana Kepresidenan untuk diberikan arahan. Kala itu, Jokowi sempat menyinggung masalah OTT. "Ini pada takut semua sama OTT enggak?" kata Jokowi saat itu.
Baca juga: Bupati Nganjuk Ditangkap KPK Usai Arahan Jokowi Soal OTT
"Bayangannya (Bupati Nganjuk) mungkin, ‘Wah, sekalian rapat bersama Presiden di Jakarta mungkin lebih aman setoran-setoran yang masuk.’ Ternyata tetap digerebek KPK," ucap Tjahjo.
Tjahjo menuturkan aksi OTT itu sebagai gerak cepat KPK setelah menerima informasi dari orang-orang di lingkaran dalam bupati tersebut.
“Ujung-ujungnya, yang lapor (ke KPK), ya, orang-orang yang ditarik pungutan tadi. Kenapa kok enggak adil? Ada yang ditarik Rp 10 juta, tapi ada yang ditarik Rp 25 juta. Yang ditarik Rp 25 juta lalu lapor, selesai,” tuturnya.
Kasus OTT Bupati Nganjuk ini mengingatkan Tjahjo saat sepekan pertama menjabat Menteri Dalam Negeri. Kala itu, Kementerian Dalam Negeri juga digerebek KPK terkait dengan kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik.
“Saya sampai melongo saat Kementerian Dalam Negeri digerebek. Hebat sekali KPK ini sampai bisa tahu (yang terlibat korupsi). Ternyata dari staf-staf (Kementerian Dalam Negeri) sendiri yang menginformasikan,” ujarnya.
Baca juga: Wakil Ketua KPK Basaria Sebut Bupati Nganjuk Nekat
Tjahjo mencontohkan, ada kasus yang mirip dengan OTT Bupati Nganjuk, yang menerapkan tarif berbeda dalam suap jual-beli jabatan. Tjahjo menuturkan, saat itu, ada lembaga Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) di suatu wilayah yang hendak meminta surat rekomendasi dari lembaga lain.
Sebelum mendapat surat rekomendasi itu, Kesbangpol meminta empat instansi di bawahnya iuran untuk uang pelicin sehingga surat bisa segera terbit. Ternyata iuran yang dipungut untuk tujuan menyuap itu jatahnya tidak dibagi sama rata. Tiga instansi diminta iuran Rp 25 juta dan satu instansi diminta iuran Rp 50 juta. Akhirnya satu instansi yang dipungut iuran paling besar itu kecewa dan melaporkan KPK sampai dilakukan OTT.
Tjahjo menambahkan, area rawan korupsi paling banyak mulai di perencanaan anggaran. “Jangan sampai pemda mau kalau ada anggota Dewan nongkrong di kantornya sebab itu rawan korupsi,” ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO