TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengatakan saat ini indeks persepsi korupsi atau Corruption Perseption Index (CPI) Indonesia masih jauh tertinggal dari negara tetangga Malaysia. Indeks ini memetakan risiko korupsi di tiap negara.
Mengutip dari hasil rilis Harvard Bussiness Review per Oktober 2017 ini, Saut menuturkan indeks persepsi korupsi Indonesia saat ini berada di angka 37 dari rentang 0-100. Sedangkan negara tertangga seperti Malaysia lebih tinggi atau berada di angka 50. "Kita harus selesaikan banyak hal untuk setidaknya menyamai Malaysia," kata Saut di Yogyakarta, Selasa 24 Oktober 2017.
BACA:Indeks Persepsi Korupsi, KPK: Nangkepin Orang Itu Gak Keren
Hal-hal yang perlu diselesaikan di bidang pemberantasan korupsi itu cukup banyak. Misalnya mengukur ketaatan negara dalam penegakan hukum, mengukur penyalahgunaan wewenang pejabat publik, aktivitas pemidanaan tindak pidana korupsi pada pejabat publik (diadili atau tidak), kesuksesan mengontrol korupsi dan sektor lain yang terkait.
Merujuk rilis tersebut, Saut menuturkan Indeks perespesi korupsi Indonesia itu memang masih jauh bila dibandingkan dengan sejumlah negara eropa dan Amerika. Seperti Denmark yang menduduki indeks persepsi korupsi tertinggi di angka 90, Amerika Serikat indeks persepsi korupsinya di angka 74, Belanda 83, Norwegia 85, dan Swedia 88.
Saut menuturkan dari hasil penelitian indeks persepsi korupsi itu yang menarik dicermati tak lain diagram pengelompokan negara yang berindeks persepsi korupsi tinggi dan rendah. Negara yang indeks persepsi korupsinya tinggi atau di atas 70 seperti Amerika, Denmark, Belanda, Swedia dan Norwegia terkelompok dalam negara yang menganut sistem kepemimpinan top-down egalitarian.
BACA:Ini Daftar Peringkat Korupsi Dunia, Indonesia Urutan Berapa?
Berbeda halnya dengan negara yang indeks persepsi korupsinya rendah yang cenderung menganut sistem kepemimpinan top-down hirarkial. "Hirarkial itu apa-apa masih menunggu diperintah, termasuk untuk memahami korupsi," ujarnya.
Saut pun mencontohkan saat beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo mengatakan harus mendatangi perbatasan sampai empat kali agar pos pengawasan di perbatasan Indonesia dibangun. Jenjang hirarkial dalam tubuh aparatur negara ini, ujar Saut, dampak buruknya tak memungkinkan pengawasan dilakukan dari bawah ke atas.
Seorang pegawai bawahan tak bisa memprotes perintah atasan yang berperilaku korup. "Saat aparatur negara menganut kepemimpian hirarkial ini, KPK justru menganut sistem egalitarian, jadi pimpinan KPK pun bisa di demo pegawainya jika salah," ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO