Pengamat Sebut Pertemuan SBY dan Prabowo Baru Penjajakan Koalisi
Editor
Rina Widisatuti
Kamis, 27 Juli 2017 17:39 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda mengatakan pertemuan antara Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Cikeas, Bogor, nanti malam, terlalu dini jika disimpulkan bakal berakhir dengan kesepakatan koalisi.
Ia meyakini, dalam pertemuan itu, keduanya akan membahas soal koalisi menjelang Pemilihan Umum 2019. "Ini bisa dibaca sebagai penjajakan awal. Saling membahas sinyal politik lah dalam merespons UU Pemilu,” kata Hanta Yuda saat dihubungi, Kamis, 27 Juli 2017.
Baca: Prabowo Temui SBY Hari Ini, Gerindra: Bahas UU dan Pemilu 2019
SBY dan Prabowo rencananya akan bertemu untuk membahas sikap partai terhadap Undang-Undang tentang Pemilihan Umum yang baru disahkan pekan lalu. Demokrat dan Gerindra bersama PAN dan PKS menolak penggunaan presidential threshold dalam pelaksanaan pemilu serentak nanti.
Menurut Ketua Divisi Komunikasi Publik Partai Demokrat Imelda Sari, pertemuan tersebut diinisiasi oleh Prabowo. "Pertemuan ini sebagai respons positif atas permintaan Ketua Umum Gerindra Prabowo untuk bertemu seusai ketok palu UU Pemilu pada sidang paripurna DPR pekan lalu," kata Imelda, Kamis, 27 Juli.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Andre Rosiade mengungkapkan, bahwa kedua elite partai ini juga akan membahas soal rencana koalisi menjelang pemilihan presiden 2019. "RUU Pemilu agenda intinya, tapi mungkin bicara rencana ke depan. Tahun 2019 kan sudah dekat," kata dia saat dihubungi.
Baca juga: SBY Bertemu Prabowo, Jokowi: Pertemuan Kan Baik-Baik Saja
Hanta menilai kedua partai tersebut masih berkemungkinan untuk berkoalisi. Peluangnya terlihat dari sisi kedekatan partai. Ia mencatat pada 2014, Prabowo bertarung dengan kubu Joko Widodo. Sedangkan, Demokrat cenderung berperan menjadi penyeimbang. Di Dewan Perwakilan Rakyat, kedua partai sama-sama menolak UU Pemilu.
Dari sisi teknis, Hanta menambahkan, kedua partai itu juga berpotensi untuk berkoalisi. Jika UU Pemilu tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, Demokrat dan Gerindra harus memenuhi ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidensial threshold sebesar 20 atau 25 persen. Menurut dia, Demokrat tidak ada pilihan lain kecuali bergabung dengan partai lain.
Ia melanjutkan, pilihan koalisi tergantung kepada porosnya. Tokoh dengan elektabilitas tinggi berpotensi membentuk poros. Berdasarkan survei terakhir, Joko Widodo dan Prabowo termasuk figur yang memiliki elektabilitas tinggi. Meski demikian, peluang koalisi tersebut masih 50:50. Walaupun dekat, kedua partai belum pernah bersatu sebelumnya. "Lagi pula, politik di Indonesia itu last minute. Kondisi saat ini masih terlalu dini," katanya.
VINDRY FLORENTIN