Terdakwa dugaan korupsi pengadaan E-KTP tahun angaran 2011-2012 Sugiharto (kiri) dan Irman (tengah) menjalani sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, 12 Juni 2017. Dalam sidang tersebut terdakwa Irman mengakui adanya catatan berisi rencana penyerahan uang kepada sejumlah anggota DPR. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta - Dalam sidang e-KTP hari ini, terdakwa Irman mengaku menyesal tak sanggup menolak intervensi dalam penggarapan proyek itu. Mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri itu mengatakan selama ini ia sebenarnya sangat tulus ingin mensukseskan proyek senilai Rp 5,9 triliun itu.
"Saya sangat menyesal atas ketidakmampuan saya menolak intervensi dari beberapa pihak yang mengganggu program e-KTP yang mencemari niat baik saya," kata Irman saat membacakan pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu, 12 Juli 2017.
Menurut Irman, intervensi yang ia maksud itu berasal dari luar Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. Salah satunya adalah mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraeni.
Dalam pembelaannya, Irman meminta majelis hakim untuk membebaskannya dari membayar uang pengganti sebesar USD 273.700, Rp 2,248 miliar, dan SinD 6.000. Sebab, ia merasa telah mengembalikan uang yang ia nikmati ke rekening penampungan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Irman menyebut ia telah menerima uang sebesar USD 300 ribu dari Andi Agustinus alias Andi Narogong. Uang itu telah ia serahkan ke KPK. Selanjutnya, Irman mengaku menerima uang dari Sugiharto sebesar USD 200 ribu. Uang itu ia serahkan kepada Suciati dan digunakan untuk pembiayaan Tim Supervisi proyek e-KTP.
Dari uang USD 200 ribu yang diserahkan kepada Suciati, Irman mengatakan ia hanya menggunakan Rp 50 juta untuk kepentingan pribadinya. Uang itu pun sudah ia kembalikan ke KPK.
"Jumlah uang yang saya setorkan ke KPK sudah sesuai dengan petunjuk pemeriksaan penyidik KPK yaitu A Damanik dan Novel serta dikonfirmasi ke saksi-saksi. Kiranya dapat membebaskan saya dari kewajiban membayar uang pengganti," katanya.
Selain itu, Irman juga menyampaikan permintaan maafnya kepada teman dan rekannya di Kementerian Dalam Negeri. Ia berharap majelis hakim dapat memberikan hukuman yang ringan untuknya. "Saya tidak ada niat atau sengaja melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan penuntut umum," katanya.
Dalam lanjutan sidang e-KTP beberapa waktu lalu, jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Irman selama tujuh tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidiar enam bulan kurungan. Selain itu, jaksa juga menuntut Irman membayar uang pengganti sebesar USD 273.700, Rp 2,248 miliar, dan SinD 6.000.