Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif (kiri) bersama mantan Ketua Pimpinan KPK Taufiqurrahman Ruki (tengah) dan Abraham Samad (kanan) menjawab pertanyaan wartawan seusai menjenguk penyidik KPK Novel Baswedan di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta, 11 April 2017. Dua orang tak dikenal menyerang Novel Baswedan pada Selasa pagi. ANTARA/Aprillio Akbar
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode Muhammad Syarif mengatakan lembaganya telah meminta pendapat pakar hukum tata negara mengenai angket KPK yang digulirkan DPR. Hasilnya, untuk sementara ia berkesimpulan bahwa hak angket tidak tepat ditujukan ke KPK.
"Untuk sementara kami lihat seharusnya angket itu enggak cocok lembaga KPK karena ditujukan untuk pemerintah yang di bawah ranah eksekutif," kata Laode di kantornya, Selasa, 13 Juni 2017. Namun ia mengatakan hingga hari ini KPK belum mendapatkan keputusan final terkait dengan sikap lembaga antirasuah menghadapi angket itu.
Laode mengatakan esok KPK juga akan meminta pendapat dari asosiasi pengajar hukum tata negara. Beberapa yang akan dibahas adalah mengenai proses penetapan angket yang tidak kuorum serta apakah KPK merupakan subjek dan objek angket.
"Termasuk kalau kami lihat rumusan pasal di mana harus semua fraksi terwakili, tapi yang sekarang bahkan ada tiga yang belum terwakili," kata Laode. Saat ini ada tiga partai yang tidak mengirimkan wakilnya, yaitu Demokrat, PKS, dan PKB.
Laode mengatakan KPK tidak memberi tenggat waktu untuk menyampaikan sikap terkait angket ini. Namun ia mengatakan bakal memberikan update mengenai sikap dan keputusan KPK jika ada pendapat yang lebih komprehensif.
Pengajuan hak angket KPK digulirkan oleh anggota Dewan setelah Miryam S. Haryani mencabut berita acara pemeriksaan di KPK dalam dugaan korupsi e-KTP. Ia mengaku telah ditekan penyidik sehingga memberikan informasi yang tidak benar. Namun saat dikonfrontir, penyidik Novel Baswedan yang kala itu memeriksa Miryam mengungkapkan bahwa ada anggota DPR yang menekan Miryam.
Untuk membuktikan kebenarannya, anggota DPR meminta KPK untuk membuka rekaman pemeriksaan. Namun KPK menolak karena rekaman itu berisi materi penyidikan. Dalam sidang yang dipimpin Fahri Hamzah, akhirnya DPR menetapkan untuk mengajukan angket guna memaksa KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam.
Sejumlah pakar mengatakan bahwa tindakan DPR tidak bisa dibenarkan. Sebab, angket semestinya ditujukan untuk mempertanyakan kebijakan pemerintah yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Sementara angket ini dinilai hanya untuk kepentingan sejumlah anggota DPR.
Terlebih, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), hak angket hanya ditujukan kepada pemerintah. Sedang KPK bukan termasuk dalam struktur pemerintahan.
Pakar hukum Indrianto Seno Adji mengatakan hal itu menjadi salah satu pembicaraan atau topik yang dibahas oleh para pakar terkait hak angket KPK. "Dan proses ini pembicaraan ini masih kami tunggu dari ahli lainnya. Jadi soal keabsahannya pembentukan angket masih kami bicarakan," kata Seno Adji.