Mantan anggota Komisi II DPR Markus Nari berjalan meninggalkan gedung KPK usai dimintai keterangannya oleh penyidik di Jakarta, 17 Mei 2017. KPK memeriksa Markus Nari sebagai saksi untuk tersangka anggta DPR non aktif Miryam S Haryani atas kasus pemberi keterangan palsu dalam sidang kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP tahun anggaran 2011-2012. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Markus Nari sebagai tersangka atas dugaan menghalangi penyidikan dan penuntutan dalam kasus e-KTP atau kartu tanda penduduk elektronik. Politikus Partai Golkar itu juga diduga menekan Miryam S. Haryani untuk memberikan keterangan tidak benar dalam persidangan.
"Tersangka diduga dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa atau pun para saksi dalam perkara tindak pidana korupsi," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, di kantornya di Jakarta, Jumat 2 Juni 2017.
Febri mengatakan pihaknya menduga Markus Nari mempengaruhi terdakwa Irman dan Sugiharto dalam kasus dugaan korupsi terkait pengadaan e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta. Irman dan Sugiharto adalah terdakwa dalam kasus tersebut.
Selain itu, KPK, kata Febri, menilai Markus Nari dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung dan tidak langsung pemeriksaan dalam indikasi penyidikan pemberian keterangan yang tidak benar dengan tersangka Miryam S Haryani.
Markus Nari pun disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Febri mengatakan pihaknya juga telah menggeledah rumah Markus dan mendapatkan sejumlah bukti, seperti Berita Acara Pemeriksaan kasus korupsi e-KTP.
Dalam dakwaan terhadap Irman dan Sugiharto, Markus Nari yang merupakan anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 dan 2014-2019 itu disebut-sebut menerima uang sekitar Rp 4 miliar dari proyek pengadaan e-KTP. Namun, saat bersaksi dalam persidangan pada Kamis, 6 April 2017, Markus Nari membantah keterlibatan dan aliran duit dari proyek yang merugikan negara Rp 2,9 triliun tersebut.