Suap Satelit Bakamla, Hardy Stefanus Divonis 1,5 Tahun Penjara
Editor
Rina Widisatuti
Rabu, 17 Mei 2017 14:16 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Frangki Tambuwun menjatuhkan vonis kepada terdakwa korupsi pengadaan satelit monitoring Badan Keamanan Laut (Bakamla) Hardy Stefanus dengan hukuman penjara 1 tahun 6 bulan. Hukuman yang diterima Hardy sama dengan terdakwa kasus suap satelit Bakamla, Muhammad Adami Okta. Selain itu hakim menjatuhkan denda kepada keduanya sebesar Rp 100 juta dengan subsider 6 bulan kurungan.
Hardy dan Adami adalah staf dari Fahmi Darmawansyah, bos PT Melati Technofo Indonesia yang menjadi pemenang tender pengadaan satelit monitoring Bakamla. “Terdakwa telah terbukti secara sah dan bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi,” kata Frangki di Pengadilan Tipikor, Rabu, 17 Mei 2017.
Baca: Kasus Suap Satelit Bakamla, Begini Cerita Versi Adami dan Hardy
Korupsi pengadaan satelit monitor bermula saat Staf Khusus Kepala Bakamla Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi mendatangi Fahmi Darmawansyah pada Maret 2016. Saat itu Ali menawarkan kepada Fahmi untuk ikut dalam proyek pengadaan satelit pemantau. Namun untuk memudahkan proyek itu, ada komitmen awal yang harus dipenuhi yaitu 15 persen dari proyek awal senilai Rp 400 miliar.
Lantaran ada pemotongan anggaran, proyek yang awalnya senilai Rp 400 miliar turun menjadi Rp 222 miliar. Saat itu Ali juga meminta uang muka sebesar 6 persen terkait pengadaan dengan alasan untuk mengurus agar proyek itu dianggarkan. Permintaan 6 persen itu akhirnya direalisasikan menjadi fulus sebesar Rp 24 Miliar dalam bentuk valuta asing.
Hardy bersama Adami lalu menyerahkan duit itu kepada Ali pada Juli 2016 di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta. “Penyerahan direkam Hardy untuk dilaporkan ke Fahmi,” ujar Frangki.
Fahmi Darmawansyah lantas mengikuti lelang dengan dua perusahaan untuk dua proyek yang berbeda. PT Melati Technofo Indonesia untuk proyek satelit monitor dan PT Merial Esa Indonesia untuk proyek drone. Kedua perusahaan itu dinyatakan memenangkan lelang. Namun kontrak yang ditandatangani hanya untuk proyek satelit monitor lantaran tidak ada anggaran untuk proyek drone.
Simak: Sidang Suap Satelit, Kepala Bakamla: Tak Ada Perintah Terima Duit
Sejumlah pertemuan pun terjadi. Frangki menyebut ada pertemuan antara Kepala Bakamla Laksamana Madya Arie Soedewo dengan kuasa pengguna anggaran Eko Susilo Hadi setelah terjadi kesepakatan proyek. Arie disebut telah menginstruksikan bahwa jatah Bakamla 7,5 persen dari 15 persen.
Namun dari jumlah itu, Arie disebut meminta agar diberikan terlebih dulu sebesar 2 persen kepada Eko Susilo. Setelah tanda tangan kontrak, Ali kembali meminta fulus kepada Fahmi sebesar 2 persen dari nilai total proyek yaitu Rp 222 miliar.
Dalam kasus ini Hardy bersama dengan Adami telah berperab menyerahkan sejumlah fulus sesuai kesepakatan. Mereka yang menerima antara lain Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi dengan uang Sin$ 10 ribu, US$ 88.500, dan 10 ribu pound sterling serta Direktur Data dan Informasi Bakamla Bambang Udoyo senilai Sin$ 105 ribu.
Duit pun mengalir ke Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan sebesar Sin$ 104.500 serta Kepala Subbagian Tata Usaha Sekretaris Utama Bakamla Tri Nanda Wicaksono senilai Rp 120 juta.
Sementara menanggapi putusan itu, Hardy menyatakan menerima hasil putusan. “Saya menyatakan untuk menerima putusan ini dan tidak mengajukan banding,” kata Hardy. Keduanya juga termasuk justice collaborator dalam kasus suap satelit Bakamla. Sedangkan tim jaksa penuntut umum masih menyatakan pikir-pikir atas putusan terhadap Hardy dan Adami.
DANANG FIRMANTO
Video Terkait: Dua Perantara Suap Satelit Bakamla Divonis 1 Tahun 6 Bulan Penjara