Laksamana muda Arie Soedewo mengikuti pelantikan di Istana Negara, Jakarta, 16 Maret 2016. Presiden Joko Widodo pagi ini melantik Laksda Arie Soedewo Kepala Badan Keamanan Laut. Tempo/ Aditia Noviansyah
TEMPO.CO, Jakarta - Bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI Laksamana Madya Ari Soedewo membantah memerintahkan anak buahnya menerima uang terkait dengan proyek satelit monitoring di Bakamla. Ia mengatakan hanya memberi instruksi sesuai dengan aturan.
"Tidak benar. Saya tidak pernah memerintahkan. Saya hanya mengarahkan kepada aturan," kata Ari Soedewo saat bersaksi dalam sidang suap proyek satelit monitoring dengan terdakwa Direktur PT Merial Esa Indonesia Fahmi Darmawansyah, Rabu, 26 April 2017.
Dalam sidang sebelumnya, Direktur Data dan Informasi Bakamla RI Laksamana Pertama Bambang Udoyo mengaku menerima uang Rp 1 miliar terkait dengan proyek satelit monitoring. Ia mengatakan uang itu ia terima karena mendapat perintah.
Bambang menerima uang tersebut dalam bentuk mata uang dolar Singapura sejumlah 105 ribu pada 6 dan 8 November 2016. Pemberian pertama sebesar Sin$ 100 ribu diserahkan oleh Muhammad Adami Okta, pegawai PT Melati Technofo Indonesia. Sedangkan pemberian kedua sebesar Sin$ 5 ribu diserahkan oleh Hardy Stefanus, marketing PT Merial Esa Indonesia.
Sebelum uang-uang itu diserahkan, Bambang mengatakan ada pemberitahuan dari Eko Susilo Hadi, Deputi Bidang Informasi Hukum dan Kerja Sama Bakamla, akan ada uang untuk Bambang. Uang itu katanya berasal dari Kepala Bakamla Ari Soedewo.
Bambang Udoyo ditetapkan sebagai tersangka oleh Pusat Polisi Militer Tentara Nasional Indonesia (Puspom TNI) terkait dengan perkara suap Bakamla pada 30 Desember 2016. Sebelumnya, KPK menetapkan empat tersangka, yakni Eko Susilo Hadi, Fahmi Darmawansyah, Hardi Stefanus, dan Muhammad Adami Okta.
Fahmi Darmawansyah diduga menyuap Eko Susilo Hadi agar perusahaannya memenangi tender proyek satelit monitoring senilai Rp 220 miliar di Bakamla.
Ari Soedewo juga disebut-sebut meminta fee sebesar 7,5 persen dari total nilai proyek ini. Namun ia membantahnya. "Tidak pernah," katanya. Ia mengaku baru tahu adanya fee yang diterima anak buahnya setelah ada operasi tangkap tangan oleh KPK pada 14 Desember 2016.