Begini Proses Fatwa MUI Soal Dugaan Penistaan Agama Ahok
Editor
Elik Susanto
Rabu, 1 Februari 2017 09:41 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Infokom Masduki Baidlowi mengatakan proses pembahasan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI soal dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tidak dilakukan secara tergesa-gesa.
"Asumsi yang menggambarkan bahwa MUI Pusat menetapkan sikap dan pandangan keagamaan secara mendadak, tiba-tiba atau tergesa-gesa sangat tidak beralasan," kata Masduki lewat keterangan tertulisnya yang diterima Tempo, Rabu, 1 Februari 2017.
Masduki mengatakan proses pembahasan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI telah dimulai sejak awal Oktober 2016, sebelum MUI DKI mengeluarkan surat teguran. Sifat tidak tergesa-gesa, kata Masduki, juga berlaku untuk Surat Teguran MUI DKI untuk Ahok pada 9 Oktober 2016 dan mengeluarkan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI Pusat pada 11 Oktober 2016.
Baca: Sidang Ahok, Ini Kesaksian Ketua MUI Maruf Amin
Surat teguran serta pendapat dan sikap keagamaan tersebut, kata dia, tidak bertentangan tapi saling mendukung. Soal kuorum rapat dalam penetapan sikap dan pandangan Majelis Ulama Indonesia, kata dia, telah dihadiri anggota sesuai peraturan.
Pada rapat Komisi Fatwa yang membahas kasus Ahok itu, kata Masduki, hadir Ketua MUI yang membidangi fatwa, ketua dan wakil-wakil ketua Komisi Fatwa, sekretaris dan wakil-wakil sekretaris Komisi Fatwa dan puluhan anggota Komisi Fatwa. Bahkan, hadir pula dalam rapat tersebut lima guru besar dari berbagai bidang yaitu fikih, ushul fikih, hukum dan tafsir.
Hadir pula akademisi dari berbagai kampus seperti UIN Jakarta, Universitas Indonesia, IIQ (Institut Ilmu Al quran) Jakarta, Uniat (Universitas At tahiriyah) Jakarta, UAD, PTIQ dan lain-lain. "Ada juga Rektor IIQ dan Direktur Pascasarjana IIQ. Mereka hadir dan ikut pembahasan," kata dia.
Baca Ini: Ultimatum Kuasa Hukum Ahok pada Ketua MUI Ma'ruf Amin
Penjelasan Masduki ini berkaitan dengan sidang Ahok pada Selasa, 1 Januari 2017. Tim kuasa hukum terdakwa Ahok menduga ada suatu rangkaian perencanaan yang merugikan kliennya. Puncaknya adalah kesaksian dari Ketua MUI Ma'ruf Amin di sidang pengadilan kasus Ahok pada Selasa 31 Januari 2017. "Dengan pertanyaan ke Ma'ruf Amin, kami ingin buka kotak pandora, apa yang sebenarnya terjadi hingga MUI begitu kuat dan cepat mengeluarkan pendapat dan sikap keagamaan," kata Humphrey Djemat, kuasa hukum Ahok.
Dalam persidangan, Ma'ruf membantah adanya percakapan dengan SBY melalui telepon. Namun, Humphrey mengingatkan kepada Ma'ruf untuk berpikir kembali akan kesaksiannya. "Ada atau tidak telepon itu. Karena saksi sudah di bawah sumpah. Kalau ketahuan tidak benar, ada sanksi hukumnya. Saksi bilang tidak ada," kata Humphrey Djemat.
Baca: Kuasa Hukum Tuding MUI Lebih Dulu Memvonis Ahok Bersalah
Untuk bukti percakapan itu, Ma'ruf mengatakan akan menyampaikannya melalui proses hukum di pengadilan. Humphrey Djemat berencana melaporkan Ma'ruf atas dugaan kesaksian palsu. "Beberapa orang sudah dilaporkan. Menyusul satu demi satu dilaporkan, termasuk Ma'ruf Amin harus dipertanyakan. Semuanya bisa merupakan rangkaian."
Yenny Wahid meminta kubu Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengurungkan niatnya untuk memperkarakan KH Ma'ruf Amin ke pengadilan berkaitan dengan kesaksian Ketua Umum MUI itu di sidang dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa 31 Januari 2017.
"Kami berharap agar Pak Ahok maupun pengacaranya mengurungkan niat untuk membawa Kiai Ma'ruf Amin ke pengadilan menyangkut kesaksian beliau," kata putri Gus Dur (Presiden keempat Abdurrahman Wahid) yang bernama lengkap Zannuba Arifah Chafsoh, Selasa, 31 Januari 2017.
ANTARA | FRISKI RIANA
Baca Juga
Kesaksian Ketua MUI, Ahok Keberatan Dituduh Hina Ulama
Soal GNPF MUI dan Rizieq, Ini Penjelasan Ma`ruf Amin