Komisioner Bawaslu Nasrullah (tengah) bersama Koordinator CSIS Arya Fernades dan Direktorat Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Akbar Ali (kanan), mengikuti diskusi Evaluasi Pilkada Serentak 2015 dan Menyoal Revisi UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, di Gedung Badan Pengawas Pemilu, Jakarta, 18 Maret 2016. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Departemen Politik dan Hubungan Internasional Center for Strategic and International Studies (CSIS) Vidhyandika D. Perkasa menilai ada tiga faktor yang memicu lambatnya kemajuan demokrasi di Indonesia. “Maraknya korupsi, kesenjangan ekonomi, dan pemilu yang curang,” katanya di kantornya, Selasa, 13 September 2016.
Vindhyandika menuturkan bahwa ada sekitar 16 persen dari responden hasil survei yang menyatakan demokrasi Indonesia masih buruk. Menurut dia, pemicunya adalah sistem peradilan dan hukum yang masih buruk. Itu dilihat dari masih banyaknya korupsi di Indonesia.
Isu korupsi masih menjadi pendorong para responden untuk pesimistis terhadap laju demokrasi Indonesia. Survei yang dilakukan terhadap 1.000 responden itu juga menilai selama ada kemiskinan maka ada hambatan untuk proses demokrasi. Termasuk juga kecurangan politik uang di pemilu.
Survei CSIS dilakukan pada 8-15 Agustus 2016. Survei itu diselenggarakan di 34 provinsi secara proporsional dengan teknik pengambilan sampel acak. Margin error pada survei kali ini adalah 3,1 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Sedangkan responden adalah penduduk yang telah berusia 17 tahun ke atas.
Namun, Vindhyandika mengatakan dari total responden sebesar 43 persen menilai demokrasi Indonesia sesuai pada jalurnya. Hal itu juga didukung pernyataan responden sebesar 55,1 persen yang menyebutkan bahwa sistem politik demokrasi adalah pilihan yang terbaik untuk Indonesia. Meski begitu, para responden menginginkan adanya kepemimpinan yang tegas untuk kemajuan demokrasi.