Ketua Bawaslu Muhammad, bersama Menkopolhukam Wiranto, Mendagri Tjahjo Kumolo, Ketua KPU Juri Ardiantoro, Ketua DKPPP Jimly Asshidiqia, Jaksa Agung M Prasetyo, dan Ketua Komisi II DPR Rambe Kamaruzzaman mengacungkan jempol usai peluncuran Indeks Kerawanan Pemilu di Jakarta, 29 Agustus 2016. Bawaslu meluncurkan Indeks Kerawan Pemilu untuk 101 daerah yang menyelenggarakan Pilkada serentak 2017 yang dibagi menjadi tiga katagori yakni rawan rendah, rawan sedang dan rawan tinggi. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Soni Sumarsono, mengatakan harus ada definisi yang jelas untuk terpidana hukuman percobaan. Sebab, menurut dia, hal itu rawan dipolitisasi.
Soni mengingatkan pidana ringan jangan sampai menghilangkan hak konstitusi seseorang calon. "Harus ada penjelasan pidana dalam hal apa," ujarnya, saat dihubungi di Jakarta, Selasa 30 Agustus 2016.
Dalam rapat konsultasi KPU bersama Komisi Pemerintahan DPR dengan agenda pembahasan PKPU Pencalonan pada Senin kemarin, syarat pencalonan di Pilkada 2017 masih menjadi perdebatan. Masih terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah terpidana yang sedang menjalani hukuman percobaan bisa mencalonkan diri.
Sony mengatakan pemerintah pada prinsipnya ingin menjaga hak konstitusi warga negara dalam pencalonan kepala daerah. "Dari perspektif politik, memang sejauh mungkin kami tidak menghendaki orang kehilangan hak konstitusinya untuk memilih dan dipilih," ujarnya.
Meskipun begitu, Soni menyatakan pemerintah harus tegas pada kasus pidana besar seperti narkoba, korupsi, dan pelecehan seksual terhadap anak tidak bisa mencalonkan diri. "Kalau dalam hal ringan jangan sampai kehilangan hak konstitusionalnya karena kasus kecil rawan dipolitisasi," kata Soni.