TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Tim Panitia Kerja Revisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Henri Subiakto menargetkan pembahasan revisi UU ITE selesai pada September 2016.
Ia mengatakan masa reses dewan dan sempat molornya jadwal pemilihan komisioner Komisi Penyiaran Indonesia menjadi salah satu faktor penyebab.
Henri mengatakan UU ITE adalah inisiatif pemerintah. Menurut dia, revisi ini mendesak karena tidak mampu mengimbangi kemajuan teknologi. "UU ITE di lapangan sering makan korban," kata Henri di gedung DPR, Jakarta, Selasa, 2 Agustus 2016.
Ia menjelaskan, Pasal 27 ayat 3 menjadi pasal yang menjadi perhatian. Sebab, seseorang bisa ditersangkakan dan ditahan asal ada barang bukti. Menurut dia, ini menjadi kontroversi. "Setelah diadili, tidak kena UU ITE, tapi penahanan ini menjadi masalah," ujarnya.
Selain itu, pasal tersebut berindikasi sebagai pasal karet karena dugaan pencemaran nama baik yang berbuah sanksi penjara 6 tahun dan denda Rp 1 miliar. "Orang mempertanyakan apa pencemaran nama baik, dan itu tidak ada definisinya di UU ITE," tuturnya. Menurut dia, tidak ada definisi pencemaran nama baik dalam UU tersebut.
Karena itu, ia menilai terdapat norma di dunia fisik yang diberlakukan di dunia maya. Menurut dia, pengertian pencemaran nama baik setiap hakim dan penegak hukum berbeda. "Banyak pengertian. Antara pencemaran nama baik, antara hakim atau penegak hukum," ucapnya.
Henri mengatakan revisi UU ITE bakal memuat sanksi pencemaran nama baik di dunia cyber. "Mudah-mudahan tidak ada orang yang ditahan lebih dulu," katanya. Masih ada delapan dari 35 Daftar Inventaris Masalah dalam pembahasan revisi UU tersebut.