Pihak swasta Doddy Aryanto Supeno mengenakan rompi tahanan dikawal petugas keluar gedung KPK seusai menjalani pemeriksaan oleh penyidik, Jakarta, 21 April 2016. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi disebut-sebut dalam persidangan kasus suap terhadap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kali ini, seorang saksi menyebut Nurhadi sebagai promotor yang mengatur setiap perkara yang melibatkan perusahaan Grup Lippo.
Bagian hukum PT Across Asia Limited, Wresti Kristian Hesty, yang membeberkan peran Nurhadi tersebut saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Rabu, 27 Juli 2016. Ia menjadi saksi untuk terdakwa Doddy Aryanto Supeno, seorang swasta.
Hesty mengatakan sering mengirim memo kepada promotor terkait dengan beberapa perkara yang berhubungan dengan Grup Lippo. Memo itu ia tulis, lalu diserahkan kepada petinggi Grup Lippo, Eddy Sindoro.
Ketua majelis hakim, Sumpeno, lantas menanyakan siapa promotor yang dimaksud oleh Hesty tersebut. "Setahu saya yang disebut promotor menurut Pak Doddy, promotor adalah Nurhadi," kata Hesty menjawab pertanyaan Sumpeno.
Lalu Sumpeno mengkonfirmasi jawaban Hesty itu kepada Doddy. Namun Doddy membantahnya. Menurut Doddy, promotor yang dimaksudnya adalah Eddy Sindoro.
Meski Doddy membantahnya, Hesty tak mengubah keterangannya. Hesty tetap berkukuh jika Doddy pernah memberitahunya bahwa promotor yang dimaksudnya itu berinisial NU. Hesty sangat yakin promotor yang dimaksud Doddy bukan Eddy Sindoro, melainkan Nurhadi. "Sejak awal surat itu ditujukan kepada yang terhormat promotor dan diserahkan ke Pak Eddy," kata Hesty.
Alis Sumpeno berkerut mendengar keterangan saksi dan terdakwa yang saling bertentangan tersebut. Ia lalu menegaskan kebenaran keterangan di antara keduanya. "Jadi promotor itu siapa? Kok beda keterangannya?" kata Sumpeno bertanya kepada Doddy.
Akhirnya Doddy mengaku tidak terlalu yakin siapa promotor yang disebutkannya. Ia mengatakan surat yang ditujukan untuk promotor itu selalu diberikan kepada Eddy Sindoro.
Sebuah memo yang ditulis Hesty untuk promotor adalah mengenai sengketa tanah PT Paramount Enterprise International di Tangerang, Banten. Dalam memo tersebut tertulis agar surat yang terlampir diubah dari "belum dapat dieksekusi" menjadi "tidak dapat direvisi".
Dalam kasus ini, Doddy bersama empat orang lainnya didakwa telah menyuap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution sebesar Rp 150 juta. Uang suap ini dimaksudkan sebagai pelicin untuk mengurus dua perkara Grup Lippo di Mahkamah Agung.
Kedua perkara itu menyangkut empat perusahaan yang terafiliasi dengan Grup Lippo, yaitu PT First Media, PT Metropolitan Tirta Perdana, PT Kymco Lippo Motor, dan PT Across Asia Limited. Adapun PN Jakarta Pusat merupakan tempat pendaftaran perkara. Sekretaris MA Nurhadi disebut pernah meminta Edy Nasution agar segera mengirim berkas peninjauan kembali yang diajukan PT Across Asia Limited ke MA meski sudah melewati tanggal pengajuan.