Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla berpidato membuka dialog tingkat tinggi Pemanfaatan Gelombang Bonus Demografi, di Hotel Pullman, Jakarta, 20 April 2015. Jusuf Kalla mengatakan bonus demografi yang dimiliki Indonesia harus dibarengi dengan kualitas sehingga tidak menjadi beban pembangunan. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Mahkamah Kehormatan Dewan segera memberikan putusan kepada Ketua DPR Setya Novanto dalam dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukannya.
Kalla mengakui kesaksian yang diberikan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan hanya untuk meringankan sanksi yang akan diberikan MKD kepada Novanto.
"Ya seperti itulah," katanya di Istana Wakil Presiden, Selasa, 15 Desember 2015. "Saya kira itu masalah MKD bahwa bagaimana dia menilainya terserah DPR.”
Kalla berharap MKD bisa memutuskan secara obyektif atas kasus Novanto. Musababnya, kasus ini merupakan skandal terbesar.
Sebelumnya, Luhut dipanggil Mahkamah Kehormatan Dewan untuk bersaksi lantaran namanya disebut sebanyak 66 kali dalam rekaman pembicaraan antara Ketua DPR Setya Novanto, pengusaha minyak Riza Chalid, dan Presiden Direktur PT Feeeport Indonesia Maroef Sjamsoeddim.
Dalam rekaman tersebut, Setya dan Riza menjamin bisa melobi untuk perpanjangan kontrak Freeport ke Presiden Joko Widodo dengan bantuan Luhut. Sebagai imbalan, keduanya meminta saham Freeport dan dana untuk pembangkit listrik tenaga air di Urumuka, Papua, dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Dalam kesaksiannya, Luhut mengatakan tak pernah berkomunikasi dengan Setya Novanto, saudagar minyak Riza Chalid, ataupun Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin mengenai perpanjangan kontrak Freeport.
Menurut Luhut, komunikasinya dengan mereka ia lakukan untuk menjaga hubungan politik dengan Koalisi Merah Putih (KMP).
Kesaksian Luhut ini dianggap sebagian kalangan hanya akan meringankan MKD dalam memberi sanksi kepada Setya Novanto. Guru besar hukum dari Universitas Andalas, Saldi Isra, mengatakan apa pun pernyataan Luhut tak membantu menemukan kebenaran terkait dengan dugaan pelanggaran etik oleh Ketua DPR Setya Novanto.
Tanpa memanggil Luhut pun, menurut Saldi, MKD semestinya sudah bisa menyimpulkan bahwa pelanggaran etika itu terjadi. "Selama bisa dipastikan bahwa rekaman itu benar ada dan yang merekam sudah mengakui, tak ada lagi yang perlu dibuktikan."