Anggota Banser membakar bendera Partai Komunis Indonesia di komplek kantor Gubernur Jawa Tengah, 30 September 2015. Anggota Banser menolak pihak yang meminta Presiden Joko Widodo untuk meminta maaf kepada korban peristiwa 30 September 1965. TEMPO/Budi Purwanto
TEMPO.CO, Blitar – Deklarator Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama, Chudlari Hasyim, 83 tahun, menolak berdamai dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) sampai kapan pun.
Ditemui Tempo di rumahnya, Jalan Ploso Nomor 6, Kelurahan Plosokerep, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar, Jawa Timur, pekan lalu Chudlari mengisahkan kebrutalan PKI di Blitar dengan dalih menumpas "tujuh setan desa". Sasaran serangan PKI kala itu adalah warga nahdliyin. “Makanya sampai kapan pun PKI adalah musuh kami,” kata Chudlari.
Kekejian PKI itulah, kata dia, yang mendorong Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Blitar membentuk laskar paramiliter yang dinamakan Banser. Kebencian Chudlari pada partai bersimbol palu arit itu dilatarbelakangi oleh aksi-aksi penjarahan, penculikan dan pembunuhan yang dilakukan mereka.
Karena itulah Chudlari menegaskan tidak akan berdamai dengan PKI sampai kapan pun. Dia mengaku kaget dan marah ketika sejumlah tokoh PKI yang kini beranjak tua bebas menjadi pembicara dan narasumber di media massa soal sejarah tahun 1965.
Namun Chudlari memuji sikap Banser yang kini lebih mengedepankan pikiran dibanding otot dalam menyikapi masalah itu. Gerakan Banser sekarang, kata dia, bertolak belakang dengan era dia dahulu. “Karena dulu anggota Banser banyak yang hanya sekolah dasar,” katanya.
Gemblengan keras yang dilakukan tokoh-tokoh pendekar dari Pemuda Ansor kepada Banser turut membentuk organisasi itu menjadi kumpulan jawara silat. Ditambah lagi peran kiai yang membekali ilmu kebal kepada mereka demi kepentingan melindungi warga NU dari serangan PKI.