Komisaris Jenderal Budi Waseso (kiri) bersama Komisaris Jenderal Anang Iskandar saat acara serah terima jabatan di gedung Rupatama, Markas Besar Kepolisian RI, Jakarta, 7 September 2015. Budi Waseso resmi bertukar jabatan dengan Anang Iskandar dari Kepala Badan Reserse Kriminal Polri menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional. TEMPO/Dian Triyuli Handoko
TEMPO.CO, Jakarta - Akademikus dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyambut positif keputusan Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti mencopot Komisaris Jenderal Budi Waseso dari jabatannya sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal Polri.
Selama dipimpin Budi Waseso, kata Fickar, kinerja Bareskrim dinilai sarat kepentingan politik. “Bareskrim dipengaruhi oleh kepentingan politik,” ucap Fickar dalam diskusi “Pekerjaan Rumah untuk Kabareskrim Baru” di kantorIndonesia Corruption Watch, Jakarta, Senin, 7 September 2015.
Karena itu, ujar Fickar, kasus-kasus yang ditangani Bareskrim lebih banyak tebang pilih dan terkait dengan kepentingan polisi. “Kasus yang ditangani ya kasus pesanan,” tuturnya.
Fickar menyebut kasus yang menyeret pimpinan KPK nonaktif, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, sebagai contoh. "Kasus itu terkesan dipaksakan. Penetapan Abraham dan Bambang sebagai tersangka pun terkesan mendadak," katanya. Setelah ditetapkan menjadi tersangka, ucap dia, proses hukum Abraham dan Bambang terkesan lamban. “Proses peradilan mereka saja senyap sampai sekarang,” ujar Fickar.
Meski begitu, Fickar mengaku tak tahu banyak soal Kepala Bareskrim yang baru, Komjen Anang Iskandar. “Saya harap polisi menjadi penegak hukum yang murni,” tuturnya.