Setelah Asyani, Kini Nenek Meri: Diadili Karena Petasan  

Reporter

Senin, 23 Maret 2015 04:33 WIB

Nenek Meri, 85 tahun, berbincang dengan tetangganya di teras rumahnya di Tegal, 22 Maret 2015. Meri akan menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Kota Tegal pada Selasa, 24 Maret mendatang. TEMPO/Dinda Leo Listy

TEMPO.CO,Tegal--Ujung kain sarung nenek Meri masih basah saat Tempo bertandang ke rumahnya di Jalan TK Pertiwi, RT 4 RW II, Kelurahan Kemandungan, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, pada Ahad kemarin. “Meski sudah tua, saya masih bisa mencuci baju sendiri,” kata perempuan berumur 85 tahun itu dengan bahasa Tegalan.

Belakangan ini, Meri menjadi buah bibir sebagian warga Kota Tegal dan sekitarnya. Sebab, nenek enam cucu dan empat cicit itu beberapa kali muncul di berita televisi. Dianggap meresahkan masyarakat karena memproduksi petasan di rumahnya, Meri dituntut penjara 5 bulan dalam masa percobaan 10 bulan.

Dalam perbincangan di warung-warung tegal (warteg), nasib Meri disandingkan dengan Asyani, 63 tahun, nenek asal Situbondo, Jawa Timur, yang juga diseret ke pengadilan karena tuduhan mencuri kayu jati milik Perhutani. “Ini salah satu bukti bahwa hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas,” kata Sudarso, 45 tahun, tetangga Meri.

Penasehat hukum Meri, Joko Santoso, mengatakan kliennya ditangkap anggota Kepolisian Resor Tegal Kota pada 12 Juni 2014. Saat itu, polisi menyita 3.100 petasan jenis leo, satu meter petasan renteng, 9 kilogram bahan pembuat petasan, dan tujuh ikat kelontong petasan yang masih kosong.

“Mereka (sebagian warga Kemandungan) membuat petasan turun-temurun, tiap menjelang Lebaran,” kata Joko pada Jumat pekan lalu. Para pembuat petasan itu, ujar dia, tidak tahu kalau pekerjaannya bisa dijerat dengan Undang Undang Darurat RI Nomor 12 Tahun 1951 dengan ancaman yang cukup berat.

Meri dijerat Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 yang mengatur tentang penyimpanan atau penyembunyian senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak tanpa hak. Ancaman bagi pelanggarnya tidak main-main, yaitu hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara maksimal 20 tahun.

DINDA LEO LISTY

Berita terkait

Bamsoet Tegaskan Pentingnya Yurisprudensi dalam Sistem Hukum Indonesia

18 November 2023

Bamsoet Tegaskan Pentingnya Yurisprudensi dalam Sistem Hukum Indonesia

Bambang Soesatyo menekankan bahwa walaupun penegakan hukum di Indonesia berorientasi kepada undang-undang (codified law), keberadaan yurisprudensi tetap bisa dijalankan.

Baca Selengkapnya

TGB Zainul Majdi Bicara Solusi Redam Konflik Horizontal

14 Agustus 2019

TGB Zainul Majdi Bicara Solusi Redam Konflik Horizontal

TGB Zainul Majdi bicara berdasarkan pengalamannya mengkaji rendahnya konflik horizontal di Lombok Utara.

Baca Selengkapnya

Pembebasan Abu Bakar Baasyir Berpotensi Kacaukan Sistem Hukum

20 Januari 2019

Pembebasan Abu Bakar Baasyir Berpotensi Kacaukan Sistem Hukum

Pembebasan terhadap Abu Bakar Baasyir dinilai tanpa landasan. "Presiden dapat dianggap mengangkangi konstitusi,"

Baca Selengkapnya

Pengadilan Politik

15 Maret 2017

Pengadilan Politik

Benarkah hukum itu netral? Sebagaimana wacana kebudayaan, dan hukum itu bagian dari kebudayaan, meskipun dapat diterapkan suatu prasangka baik bagi segenap praktisi hukum, posisi manusia sebagai subyek sosial membuatnya berada di dalam-dan tidak akan bebas dari-konstruksi budaya yang telah membentuknya. Meski pasal-pasal hukum ternalarkan sebagai adil, konstruksi wacana sang hamba hukumlah yang akan menentukan penafsirannya.

Baca Selengkapnya

Video Ceramah Bachtiar Nasir Kasusnya di SP3, Ini Alasannya

7 Maret 2017

Video Ceramah Bachtiar Nasir Kasusnya di SP3, Ini Alasannya

Sebelumnya, dalam sebuah video ceramah, Bachtiar Nasir mengaku telah menemui Kapolri Tito Karnavian, dan menyebut semua kasus ditutup.

Baca Selengkapnya

Reformasi Hukum Kedua Jokowi

26 Januari 2017

Reformasi Hukum Kedua Jokowi

Saat ini terdapat lebih dari 40 ribu peraturan perundang-undangan di Indonesia. Untuk peraturan daerah saja, sejak Reformasi hingga 2015 telah diproduksi lebih dari 3.000 peraturan daerah provinsi dan lebih dari 25 ribu peraturan daerah kabupaten/kota. Tapi banyak di antaranya yang tumpang-tindih, tidak berdaya guna, dan sebagian justru menghambat pelaksanaan pembangunan. Sejak otonomi daerah diberlakukan, muncul ribuan peraturan daerah yang justru bermasalah.

Tak mengherankan, pada Reformasi Hukum Tahap I (Juni 2016), pemerintah mengimbau agar lebih dari 3.000 peraturan daerah dibatalkan. Penyebabnya, banyak regulasi yang multitafsir, berpotensi menimbulkan konflik, tumpang-tindih, tidak sesuai asas, lemah dalam implementasi, tidak ada dasar hukumnya, tidak ada aturan pelaksanaannya, dan menambah beban, baik terhadap kelompok sasaran maupun yang terkena dampak regulasi. Kualitas regulasi yang buruk bisa berdampak ketidakpastian hukum, inefisiensi anggaran, kinerja penyelenggara negara yang rendah, daya saing ekonomi rendah, minat investasi menurun, dan menimbulkan beban baru bagi masyarakat dan pemerintah.

Baca Selengkapnya

Mantan Ketua MK: Harapan 2017, Pengadilan Independen

12 Januari 2017

Mantan Ketua MK: Harapan 2017, Pengadilan Independen

Sebagai benteng terakhir keadilan, pengadilan harus tetap memiliki independensi dan integritas tinggi serta menjadi tumpuan masyarakat pencari keadilan.

Baca Selengkapnya

Polisi yang Beperkara Hukum Harus Lapor kepada Pimpinan  

19 Desember 2016

Polisi yang Beperkara Hukum Harus Lapor kepada Pimpinan  

Tito mengatakan selama ini ada anggotanya yang dipanggil karena beperkara hukum, tapi pimpinan tidak mengetahui.

Baca Selengkapnya

Kawal Jokowi-JK, PDIP Soroti Soal HAM, Korupsi, dan Hukum

14 Desember 2016

Kawal Jokowi-JK, PDIP Soroti Soal HAM, Korupsi, dan Hukum

Trimedya menyoroti dua tahun pemerintahan Jokowi-JK.

Baca Selengkapnya

Kebijakan Hukum, Pemerintah Disarankan Fokus 3 Hal Ini

17 Oktober 2016

Kebijakan Hukum, Pemerintah Disarankan Fokus 3 Hal Ini

Budaya hukum yang baik tidak terbentuk.

Baca Selengkapnya