Kiri-kanan: Ketum PPP Suryadharma Ali, Ketum PAN Hatta Rajasa, Ketua Dewan Pembina Gerindra Prabowo Subianto, Ketum Partai Golkar Aburizal Bakrie, dalam pembekalan anggota DPR 2014-2019 Koalisi Merah Putih, di Jakarta, 26 September 2014. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat psikologi politik, Hamdi Muluk, mengatakan eksekutif tidak perlu merasa takut bila parlemen dikuasai koalisi lawan. "Tidak usah ketakutan yang berlebihan. Itu hanya ujian keterampilan bagi eksekutif," kata Muluk saat dihubungi pada 13 Oktober 2014. (Baca: Pengamat: Koalisi Prabowo Awasi Anggaran Negara)
Menurut Hamdi, justru lebih baik bila koalisi lawan menguasai parlemen, bukannya koalisi pemerintah. Hal ini berguna sebagai penyeimbang eksekutif. Bila anggota legislatif berada di koalisi yang sama dengan eksekutif, kegiatan korupsi dikhawatirkan bisa kembali merajalela. "Seperti kasus Wisma Atlet di pemerintahan SBY," kata Hamdi.
Bila nanti koalisi pro-Prabowo--sudah menguasai pimpinan MPR dan DPR--juga menguasai posisi pimpinan ketua komisi dan alat kelengkapannya, koalisi pro-Jokowi tidak perlu takut. Jokowi-Jusuf Kalla bisa membuat kekuatan dengan memilih kabinet yang bagus. Caranya, menempatkan para menteri yang kredibel, membuat kebijakan yang masuk akal, dan bersih secara profesional. "Bila seperti itu, saya yakin, Jokowi-JK bisa mendapat dukungan publik," tutur Hamdi. (Baca: Kebijakan Jokowi Bisa Dijegal Lewat Badan Anggaran)
Sebelumnya, koalisi pro-Prabowo di DPR berencana memekarkan jumlah komisi dari saat ini berjumlah sebelas. Hamdi menilai ini sebagai cara koalisi itu memamerkan kekuatannya.
Cara ini, menurut Hamdi, sebagai bentuk unjuk kekuatan di parlemen terhadap koalisi pro-Jokowi yang menguasai pemerintahan. "KMP seperti mengatakan 'Awas, hati-hati terhadap kami'," kata Hamdi.