Sejumlah abdi dalem bergotong-royong memasang tarub dari hasil bumi di tiang-tiang utama dan pohon di kompleks Keraton Yogyakarta (21/10). Pemasangan tarub ini merupakan tanda dimulainya hajatan pernikahan Gusti Kanjeng Ratu Hayu dan Kanjeng Pangeran Haryo Notonegoro. TEMPO/Suryo Wibowo.
TEMPO.CO, Yogyakarta - Sejumlah aturan berlaku untuk tamu dan undangan pernikahan putri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Hayu dan calon suaminya, Kanjeng Pangeran Haryo Notonegoro. Semua jurnalis peliput acara wajib mengenakan baju peranakan yang lazim dipakai abdi dalem.
Karena itu, media center acara pernikahan itu dipenuhi awak media yang berpakaian tradisional Jawa, Senin, 21 Oktober 2013. Pusat media itu ada di sebuah pendopo di samping bangsal Kemagangan, Keraton Yogyakarta. Sederet komputer diletakkan berjajar di bagian tengah dan bisa dimanfaatkan jurnalis untuk menulis berita.
Jurnalis lelaki mengenakan baju peranakan lengkap dengan blangkon sebagai penutup kepala dan kain batik penutup tubuh bawah. Sedangkan yang perempuan, mengenakan kain batik untuk menutup tubuh bagian bawah dan berkebaya dengan rambut disanggul. “Ini sudah dipesankan teman sejak beberapa hari lalu,” kata Dwi Narwoko, jurnalis foto sebuah media online di Jakarta, menceritakan baju peranakan yang dikenakannya.
Baju peranakan berupa pakaian lengan panjang berbahan lurik warna biru. Pakaian itu memiliki bukaan di bagian depan sepanjang dada. Sehingga untuk mengenakannya, pemakai harus menggunakannya seperti saat memakai kaus. Posisi seperti itu yang membuat baju itu disebut peranakan. “Seperti posisi bayi saat dalam kandungan,” kata Pengageng Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta, Kanjeng Raden Tumenggung Jatiningrat, kepada Tempo, bulan lalu.