TEMPO Interaktif, Jakarta: Hakim ad hoc HAM yang memutus perkara pelangaran HAM pada kasus Tanjung Priok diminta hati-hati dalam menentukan siapa yang berhak mendapatkan kompensasi tersebut. Kalau tidak, hal tersebut dapat menjadi persoalan baru bagi para korban kekerasan tentara tersebut. Hal itu diutarakan Amiruddin Al Rahab, analis Tim Monitoring Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus Tanjung Priok, yang tampil sebagai pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Senin (9/8) di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta.Menurut Amiruddin, penentuan kompensasi yang baru pertama kali dilakukan dalam sistem peradilan HAM di Indonesia ini, memang merupakan inovasi maju. "Tapi, hakim harus hati-hati (untuk) menentukan siapa yang berhak mendapatkannya," katanya.Hakim juga dituntut menyebutkan nama-nama siapa saja yang berhak mendapatkannya dalam sidang pengadilan ad hoc. "Kalau ngga, orang akan ribut dan antri untuk mendapatkan itu," tambahnya. Pemberian kompensasi, rehabilitasi dan restitusi merupakan konsekuensi dari Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002. Dalam peraturan tersebut diatur pemberian kompensasi dan restitusi dan rehabilitasi kepada setiap korban atau ahli warisnya pelanggaran HAM berat. Dimana besarannya diserahkan kepada majelis hakim yang bersangkutan.Kompensasi telah diterapkan dalam putusan RA Butar-Butar, yang dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Namun, tidak mencantumkan dengan detail berapa besarnya kompensasi untuk korban. "Hakim juga harus memutuskan berapa besar yang diterima masing-masing korban," kata Amiruddin.Amiruddin sendiri mengaku kesulitan untuk menentukan besaran kompensasi yang harus diterima oleh para korban. Surat tuntutan yang telah mencantumkan besaran kompensasi tersebut, menurutnya, merupakan langkah maju yang dilakukan jaksa. "Tapi harus berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan kejaksaan dan Komnas HAM," tambahnya. Tito Sianipar - Tempo News Room