TEMPO.CO, Jakarta -Pada 38 tahun silam terjadi peristiwa di Tanjung Priok Jakarta Utara berpuncak dalam pertumpahan darah 12 September 1984.
Melansir dari buku Jalan Tengah Demokrasi karya Tohir Bawazir, kerusuhan Peristiwa Tanjung Priok melibatkan massa Islam dengan aparat pemerintah Orde Baru (Orba). Korban tewas nyaris seluruhnya meregang nyawa lantaran diterjang timah panas dari senapan tentara.
Pertumpahan darah sesama anak bangsa itu bermula dari penerapan Pancasila sebagai asas tunggal yang mulai gencar digaungkan sejak awal 1980-an. Semua organisasi di bumi Nusantara wajib berasaskan Pancasila, tidak boleh yang lain. Artinya, siapapun yang tidak sejalan dengan garis politik rezim Orba maka layak dituduh sebagai anti-Pancasila.
Mereka yang dituding subversif di tengah suasana yang terkesan represif itu, terdengar kabar dari langgar kecil di pesisir utara ibukota.
Abdul Qadir Djaelani, seorang ulama sekaligus tokoh masyarakat Tanjung Priok, disebut-sebut kerap menyampaikan ceramah yang dituding aparat sebagai provokatif dan berpotensi mengancam stabilitas nasional.
Dari situlah kejadian berdarah itu bermula. Dalam eksepsi pembelaannya di pengadilan, Abdul Qadir Djaelani menyampaikan kesaksian yang barangkali berbeda dengan versi “resmi” pemerintah Orde Baru.
Selepas subuh usai peristiwa Tanjung Priok, Djaelani dijemput aparat untuk dihadapkan ke meja hijau.
Akhir 1985, pengadilan menjatuhkan vonis terhadap mantan Ketua Umum Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) itu. Djaelani dihukum penjara 18 tahun dengan dakwaan telah melakukan tindak pidana subversi melalui ceramah, khotbah, dan tulisan-tulisannya.
Selain Djaelani, persidangan juga menyeret sejumlah tokoh cendekiawan Islam lainnya seperti AM Fatwa, Tony Ardi, Mawardi Noor, Oesmany Al Hamidy, Hasan Kiat, dan lainnya, yang dituding sebagai “aktor intelektual” bentrokan tersebut. Setidaknya ada 28 orang yang diadili dalam rangkaian sidang yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan itu. .
Majelis hakim menyatakan seluruh tertuduh dinyatakan bersalah, dan dijatuhi sanksi bui yang lamanya bervariasi, hingga belasan tahun seperti yang dikenakan kepada Djaelani. Djaelani sempat menyampaikan eksepsi pembelaannya di pengadilan.Termasuk kronologi yang mengiringi insiden berdarah Tanjung Priok pada 12 September 1984 itu.
Kesaksian Djaelani ini seperti dikutip dari bukunya Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia karya A.Q. Djaelani.
Dalam eksepsi pembelaannya, Djaelani menceritakan awal mula perselisihan warga kontra aparat itu. Sabtu, 8 September 1984, dua Bintara Pembina Desa (Babinsa) dari Koramil datang ke Musala As-Sa’adah di Gang IV Koja, Tanjung Priok.
Mereka memasuki area tempat ibadah tanpa melepas sepatu dengan maksud mencopot pamflet yang dianggap berisi ujaran kebencian terhadap pemerintah. Djaelani menyebut kedua Babinsa itu memakai air comberan dari got untuk menyiram pamflet tersebut.
Kelakuan dua Babinsa ini segera menjadi kasak-kusuk di kalangan jemaah dan warga sekitar kendati masih menahan diri untuk tidak langsung merespons secara frontal. Namun, tidak pernah ada upaya nyata dari pemerintah atau pihak-pihak yang berwenang untuk segera menyelesaikan masalah ini secara damai sebelum terjadi polemik yang lebih besar.
Dua hari kemudian, masih dari penuturan Djaelani, terjadi pertengkaran antara beberapa jemaah musala dengan tentara pelaku pencemaran rumah ibadah.
Adu mulut itu sempat terhenti setelah dua Babinsa itu diajak masuk ke kantor pengurus Masjid Baitul Makmur yang terletak tidak jauh dari musala. Namun, kabar telah terlanjur beredar sehingga masyarakat mulai berdatangan ke masjid. Situasi tiba-tiba ricuh karena salah seorang dari kerumunan membakar sepeda motor milik tentara.
Aparat yang juga sudah didatangkan segera bertindak mengamankan orang-orang yang diduga menjadi provokator. Empat orang ditangkap, termasuk oknum pembakar motor. Penahanan tersebut tak pelak membuat massa semakin kesal terhadap aparat. Namun, kata Djaelani, masyarakat masih mencari cara agar persoalan ini tidak harus melibatkan massa dalam jumlah besar.
Keesokan harinya, tanggal 11 September 1984, jemaah meminta bantuan kepada Amir Biki untuk merampungkan permasalahan ini. Amir Biki adalah tokoh masyarakat yang dianggap mampu memediasi antara massa dengan tentara di Kodim maupun Koramil.
Amir Biki segera merespons permintaan...