Asri Nugroho, pelukis asal Surabaya menyelesaikan lukisan wajah KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dalam Pameran 100 hari Gus Dur di Malang, Jawa Timur, Minggu (28/3) Pameran yang diadakan untuk menghormati jasa-jasa Gus Dur tersebut menampilkan 191 lukisan karya 135 pelukis dari 10 kota dan berlangsung hingga tanggal 1 April mendatang. Foto ANTARA/Ari Bowo Sucipto
TEMPO.CO, Jember - Mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid, mewariskan tradisi pemikiran dan strategi kebudayaan yang baik untuk pembangunan negara dan bangsa Indonesia. Sebagai tokoh agama sekaligus politik, Gus Dur--begitu dia biasa disapa--memiliki visi yang jelas untuk menjadikan agama Islam yang melayani masyarakat.
Langkah Gus Dur dalam berdialog dan bekerja sama dengan pemeluk agama dan keyakinan lain itu adalah upaya menjaga kemaslahatan hidup, seperti ajaran Islam.
"Dia memberi inspirasi pemikiran dan tindakan untuk berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa kenal lelah," ujar Habib Ali Assegaf dalam acara "Sarasehan Budaya Mengenang Tiga Tahun Gus Dur," Rabu, 26 Desember 2012.
"Bagi Gus Dur, hidup beragama itu dilakukan dengan lucu dan menyenangkan. Gampang, tapi tidak menggampangkan," kata Sastro. Dia lalu mengutip satu cerita lucu Gus Dur. Dikisahkan seorang kaya yang menganut Kejawen ingin berkorban seekor sapi untuk delapan anggota keluarganya. Datanglah dia kepada KH. Bisri Samsuri. Namun, kiai ahli fikih itu mengatakan tidak bisa.
"Sesuai hukum Islam, kalau berkorban untuk delapan orang, ya, seekor sapi dan seekor kambing," kata Sastro. Orang itu merasa tidak puas dan tetap ngotot berkorban seekor sapi gemuk untuk kedelapan anggota keluarganya.
Akhirnya orang itu datang ke rumah KH Wahab Hasbullah. Di sana dia mendapat jawaban memuaskan. "Boleh berkorban seekor sapi, tapi tolong ditambahi seekor kambing, buat pancikan (pijakan) anakmu yang masih kecil. Kasihan nanti dia enggak bisa naik, " kata Sastro menirukan Gus Dur. Hadirin pun tergelak.